Skenario Gagal Israel di Gaza

Skenario Gagal Israel di Gaza

Oleh: Smith Alhadar

Israel dikabarkan menyiapkan sejumlah skenario untuk Gaza pasca perang. Semuanya mendapat penolakan komunitas internasional.

Juru bicara militer Israel (IDF), Daniel Hagari, pekan lalu mengatakan siapa pun yang menyatakan Hamas bisa dikalahkan secara militer “menyesatkan publik”. Ia merujuk pada sikap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang ngotot terus berperang sampai kapasitas militer dan politik Hamas dilumatkan. 

Sebelumnya, Benny Gantz—menteri dalam kabinet perang Israel—mengundurkan diri karena Netanyahu tidak juga memaparkan skenario untuk Gaza setelah perang. Berperang tanpa henti tanpa exit strategy yang kredibel membahayakan eksistensi Israel.

Perang Hamas-Israel, yang berlangsung selama sembilan bulan, telah menguras sumber daya ekonomi, militer, dan manusia Israel. Sementara itu, secara paradoks, Hamas mustahil dikalahkan. Terlebih, pada saat yang sama, Israel terus mendehumanisasi warga Palestina. Bukannya melemahkan resistansi warga Gaza dengan strategi kelaparan dan genosida, Israel justru mendorong mereka yang telah kehilangan segalanya untuk bergabung dengan Hamas. 

Di lain pihak, Israel kian terisolasi. Sistem peradilan internasional, tekanan sekutu, dan demonstrasi anti-perang oleh mahasiswa di seluruh dunia mengecam kejahatan perang serta genosida yang dilakukan Israel. Pandangan Hanegbi, Gantz, dan sebagian publik Israel sejalan dengan Amerika Serikat. Bahkan Netanyahu dianggap sengaja melanjutkan perang hanya untuk mempertahankan kekuasaannya dan demi menggembosi suara inkumben Joe Biden dalam pemilu AS pada November mendatang menghadapi mantan presiden Donald Trump.

Kendati secara konsisten memberikan bantuan finansial, diplomatik, dan senjata kepada Israel demi menjaga dukungan lobi Yahudi serta kaum Evangelis AS, Biden menahan bom berkekuatan besar yang dibutuhkan Netanyahu. Ia khawatir bom itu akan digunakan Israel untuk warga sipil di Rafah, garis merah yang ditetapkan Biden. Biden juga mendorong gencatan senjata yang dituntut konstituen Demokrat.  

Mundurnya Gantz membuat Netanyahu sangat bergantung pada dua partai ultranasionalis pimpinan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich. Keduanya mengancam akan mundur dari pemerintahan koalisi bila Netanyahu mengakhiri perang sebelum Hamas dibabat habis (jika dua partai ini mundur, otomatis pemerintahan Netanyahu berakhir -red). Pada saat yang sama, Ben-Gvir mendorong pendirian permukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat melalui aksi perampasan disertai pembunuhan terhadap warga Palestina. 

Sementara itu, Smotrich kini menahan dana Otoritas Palestina pimpinan Presiden Mahmoud Abbas sebagai hukuman atas permohonan Otoritas menjadi anggota tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Langkah ini juga diambil atas aduan Otoritas kepada Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) atas kejahatan perang Israel. Ditambah lagi, Otoritas bergabung dengan Afrika Selatan dalam kasus genosida yang sedang ditangani Mahkamah Internasional (ICJ). Akibat kebijakan Smotrich itu, Otoritas Palestina terancam kolaps karena tak bisa membiayai birokrasi dan institusi keamanan. AS dan sekutunya mengecam tindakan Smotrich.

Sebenarnya diam-diam Netanyahu punya skenario bagi Gaza setelah perang. Tapi skenario itu dianggap tidak realistis. 

Pertama, Gaza akan dibagi ke dalam empat bagian yang masing-masing dipimpin kepala suku dengan keamanan dijamin IDF. Skenario ini dengan cepat layu sebelum berkembang karena diancam oleh Hamas. 

Kedua, Netanyahu merencanakan Gaza dikendalikan oleh Palestina pimpinan Majid Faraj, Wakil Kepala Intelijen Otoritas Palestina yang dekat dengan Israel. Pada Januari lalu, Faraj dan anak buahnya menyamar sebagai anggota staf bantuan kemanusiaan PBB yang masuk ke Gaza membawa truk bantuan. Ketika warga yang kelaparan menyerbu truk itu, Faraj dan anak buahnya mengeluarkan senjata. Aksi ini membuat Hamas curiga dan menangkap mereka. Tidak jelas nasib mereka sekarang. Tapi, dengan sendirinya, skenario ini juga buyar.

Ketiga, Gaza akan diperintah oleh entitas Palestina non-Hamas dan non-Otoritas. Mesir, UEA, Yordania, dan Arab Saudi diminta berpartisipasi dalam rekonstruksi Gaza serta mengirim pasukan untuk menyokong pemerintahan di sana. Skenario ini ditolak oleh bangsa Arab karena mengabaikan peran Otoritas yang eksistensinya diakui oleh Kesepakatan Oslo 1993 antara Israel dan Palestina.

Kesepakatan Oslo memproyeksikan Palestina memiliki negara merdeka pada 1998 di atas teritori Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur. AS juga tidak mendukung karena beranggapan tidak mungkin skenario ini bisa berjalan tanpa two state solution. AS berasumsi saat ini Hamas telah kehilangan kapasitas militer dan politik sehingga tidak lagi menjadi ancaman keamanan bagi Israel. Apalagi negara-negara Arab akan berpartisipasi. 

Perundingan rahasia antara pejabat tinggi militer AS, Israel, Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, serta Qatar di Bahrain untuk mencari solusi bagi Gaza setelah perang—meski cukup berprogres—masih jauh dari tuntutan Hamas dan Israel. Tampaknya Netanyahu juga sengaja mengulur waktu untuk memastikan kemenangan Trump.

Dengan perkembangan situasi semacam itu, kita masih akan menyaksikan pembantaian bangsa Palestina saat konflik Israel-Hezbollah bereskalasi ke arah perang skala penuh yang akan membakar Timur Tengah. Kita perlu terus menyuarakan kecaman dan menekan komunitas internasional untuk menghentikan kekejaman Israel di Palestina.

(Sumber: Koran TEMPO, Rabu, 26 Juni 2024)
Baca juga :