Israel bisa membuat Gaza tidak bisa ditinggali, tapi Israel tidak bisa menghancurkan Hamas
“Bagi [Israel], kemenangan penuh berarti pembebasan para tawanan dan yang paling penting, mengakhiri kekuasaan Hamas di Gaza sepenuhnya,” Dr. Tamer Qarmout, seorang profesor kebijakan publik di Institut Studi Pascasarjana Doha, mengatakan kepada Sputnik. “Perang ini sudah berlangsung hampir delapan bulan, dan jelas Israel belum mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut.”
Israel mengirimkan tank untuk melakukan serangan ke Rafah pada tanggal 29 Mei setelah melakukan serangan mematikan di kamp pengungsian yang terletak di wilayah tersebut pada hari Minggu. Menurut CNN, amunisi buatan AS digunakan dalam serangan hari Minggu yang merenggut nyawa sedikitnya 45 orang dan melukai 200 lainnya. Meskipun demikian, pemerintahan Biden menegaskan tindakan Tel Aviv bukan merupakan operasi darat besar yang melanggar garis merah AS.
Menurut Qarmout, Israel terus melanjutkan perang Gaza meskipun ada kecaman dari seluruh dunia karena perlindungan AS di Dewan Keamanan PBB. “AS sangat terlibat dalam konflik ini,” tegas akademisi tersebut.
Pada 29 Mei, Tel Aviv memberi isyarat bahwa perangnya di Gaza kemungkinan akan berlanjut setidaknya hingga tahun 2024.
“Israel sejauh ini tidak mempunyai jalan keluar, jalan keluar dari rawa Gaza, seperti yang saya katakan. Dan sejauh ini, apa yang mereka lakukan adalah menghancurkan tatanan sipil di Gaza, menghancurkan penghidupan di Gaza itu sendiri," kata Qarmout, menanyakan berapa lama komunitas internasional akan menoleransi perang genosida ini.
Apa yang bisa dicapai oleh kabinet Benjamin Netanyahu adalah menghancurkan Gaza dari sudut pandang sipil, menjadikannya tempat yang tidak layak huni, namun itu tidak berarti mereka akan bisa menghabisi Hamas, menurut akademisi tersebut.
(Sumber: Sputnik)
Israel can make Gaza unlivable, but it cannot destroy Hamas
— Sputnik (@SputnikInt) May 29, 2024
"For [Israel], a full victory involves releasing the captives and most importantly, ending Hamas' rule in Gaza completely," Dr. Tamer Qarmout, an associate professor in public policy at the Doha Institute for Graduate… pic.twitter.com/swO84V2AU5