Oleh: Saief Alemdar
Percobaan Nuklir India dengan nama Pokhran II (Smilling Budha) tahun 1998, merupakan salah satu operasi rahasia tersukses yang pernah dilakukan oleh sebuah negara, dan itu adalah salah satu “a serious US intelligence failure of the decade” (kegagalan intelijen AS yang serius pada dekade ini), padahal saat itu India sedang berada di bawah pantauan satelit AS.
Setelah operasi Smilling Budha ll itu sukses, secara resmi India "kebal" dari gangguan siapapun dan berada selevel dengan AS, Rusia, Tiongkok dan negara nuklir lainnya di dalam Nukes Club.
Sementara Iran, yang memiliki tetangga anggota Nukes Club, yaitu Pakistan hingga saat ini tampaknya masih “tersandera” oleh fatwa pemimpin tertinggi Iran, Ali Khamenei. Pada bulan Oktober 2003, Khamenei mengeluarkan fatwa lisan yang melarang produksi dan penggunaan segala bentuk senjata pemusnah massal. Dua tahun kemudian, pada Agustus 2005, fatwa tersebut dikutip dalam pernyataan resmi pemerintah Iran pada pertemuan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) di Wina.
Sebagaimana yang sudah lumrah diketahui, bahwa Fatwa itu tidak bersifat legally binding (mengikat secara hukum), dan sangat rentan berubah sesuai dengan kaidah, “Tataghayyar Al Ahkam Al ijtihadiyyah bi taghayyuri al makan wa al zaman wa al ahwal” (fatwa bisa berubah sesuai kondisi yang berubah). Jadi, bisa saja fatwa itu berubah karena kondisi yang menuntut perubahan.
Insiden jatuhnya helicopter yang menewaskan Presiden Iran, Ibrahim Reisi, dan Menlu Iran, Hussein Amir Abdollahian kemarin bisa menjadi salah satu ahwal (kondisi) yang dapat mengubah fatwa 2003 itu. Kenapa? Sejauh ini detail insiden masih gelap, hanya Allah yang tahu. 1001 pertanyaan muncul dibalik insiden itu.
Skenario pertama, official (pernyataan resmi). Insiden terjadi karena “rough landing” (pendaratan darurat), bisa jadi ada kerusakan teknis yang menyebabkan heli harus mendarat dan akhirnya mendarat di jurang karena cuaca yang buruk di pegunungan.
Poin pertama, semua orang tahu bahwa panduan dasar penerbangan menyatakan apabila penerbangan melewati pegunungan dan menemui cuaca buruk, maka penerbangan harus ditunda. Apalagi helicopter yang mengangkut presiden, tentunya segala persiapan harus sudah dimatangkan. Poin kedua, ada dua helicopter lainnya dalam rombongan itu dan melewati rute yang sama, dan tiba dengan selamat di Tibriz. Ini pun helikopter jadul jenis Bell 212 diproduksi tahun 1968 kenapa masih digunakan, untuk mengangkut presiden pula.
Skenario kedua, sabotase dan pembunuhan, versi unofficial alias mengira-ngira. Pelakunya berpotensi berbagai pihak, tapi yang paling diuntungkan adalah pihak yang tidak ingin Iran punya senjata nuklir. Selama menjabat, Presiden Reisi benar-benar telah meningkatkan pengayaan uranium, kalau kata ahli fisika dan pakar nuklir Amerika, David Albright, dalam laporannya Januari 2024, “Iran needs roughly a week to develop uranium for its first atomic weapon” (Iran hanya membutuhkan sekitar satu minggu untuk mengembangkan uranium untuk senjata atom pertamanya). Hal yang sama juga dikatakan kepala International Atomic Energy Agency, Rafael Mariano Grossi, “it would take Iran just weeks to have enough enriched uranium to make a nuclear bomb” (Iran hanya membutuhkan waktu beberapa minggu untuk memiliki cukup uranium yang diperkaya untuk membuat bom nuklir). Atau jangan-jangan sudah ada, hanya belum diumumkan saja.
Benar Iran adalah negara institusi, mati presiden digantikan presiden lain. Tapi Ibrahim Reisi ini beda, selain mendapatkan dukungan legislatif, judikatif, dan militer, Reisi juga calon kuat untuk menggantikan Supreme Leader (Pemimpin Tertinggi) Ali Khamenai di masa mendatang. Itu yang membuat Reisi beda dengan presiden sebelumnya, Rouhani atau Ahmadinejad.
Sepertinya scenario kedua (pembunuhan) lebih kuat, meskipun kita belum mendengar hasil olah TKP, namun informasi yang diterima dari ketua Bulan Sabit Merah Iran mengatakan bau bahan bakar di sekitar lokasi bukan seperti bau bahan bakar helicopter.
Pertama: Presiden Reisi meninggal habis mengunjungi Azerbaijan, Azerbaijan itu “Israel cabang Asia Tengah dan Selatan”, begitu kata orang.
Kedua: Helikopter lama itu kena jammed (mesin dibuat macet/mati), Electronic Warfare (EW) jaman sekarang sudah canggih-canggih, hal itu seperti kata Menteri Transportasi Turki yang menggunakan drone Akinci untuk mencari lokasi crash helikopter Iran itu, bahwa “helikopter presiden tidak mengaktifkan sistem sinyalnya, atau tidak memiliki sistem tersebut”.
Adapun Menlu Iran Hussein Amir Abdollahian, adalah ujung tombak diplomasi Iran, benar-benar seperti yang dikatakan oleh orang yang pernah bertemu dengannya. Kalau orang Barat menyebutnya, “The Soft Face of Iran’s Hard Power”.
Apapun hasil olah TKP nanti, yang pasti dampaknya akan sangat besar, kita lihat saja, biarlah waktu yang menjawab....
Rahimallah Al jamii.
(fb)