Antara Rafah, Tel Aviv, dan Riyadh
Oleh: Ibnu Burdah
NEGOSIASI gencatan senjata dan pertukaran tawanan antara Hamas dan Israel berjalan sangat alot. Masing-masing pihak berkukuh pada pendiriannya. Hamas yang sudah diserang habis-habisan secara militer berkeras menginginkan gencatan senjata permanen dan Israel segera keluar dari Jalur Gaza. Sementara itu, Israel yang merasa secara militer di atas angin hanya menginginkan kembalinya para tawanan dengan memberikan konsesi gencatan senjata sementara seminimal mungkin, bukan permanen.
Para pimpinan di Israel sangat yakin mereka akan mencapai tujuan perang yang sejak awal digembar-gemborkan, yaitu menghancurkan kekuatan Hamas, dengan menginvasi Rafah. Tarik-ulur dua hal itu, penghancuran Hamas atau pembebasan tawanan, hingga saat ini terjadi secara konstan dalam proses pengambilan kebijakan di Tel Aviv.
Sudah ada semacam ijmak di Israel bahwa mereka bertekad menghancurkan Hamas dengan biaya sebesar apa pun. Namun kartu tawanan yang dimainkan Hamas sejak awal membuat Israel benar-benar kelabakan antara mementingkan penyelamatan sandera dan tujuan penghancuran Hamas.
Bola invasi ke Rafah sekarang ada di tangan Israel. Namun gelombang tekanan terhadap Israel terus bertambah, terutama dari universitas terkemuka di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia. Universitas-universitas di Timur Tengah juga mulai bergerak. Di Indonesia, gerakan serupa sudah menjalar di berbagai universitas yang berpotensi menjadi gerakan masif.
Kuatnya tekanan grass root ini sepertinya cukup berpengaruh pada kebijakan AS terhadap Israel. Pemerintah AS memberikan tekanan yang lebih kuat lagi terhadap pemerintah Israel untuk menerima gencatan senjata yang dimediasi Mesir melalui diplomasi intens yang digencarkan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken. Seperti diketahui, beberapa hari ini, Blinken menggencarkan diplomasi ke Riyadh, Yordania, dan Israel.
AS juga memainkan "kartu" Arab Saudi yang sejak beberapa tahun ini gelagatnya akan menormalisasi hubungan dengan Israel. Israel mendapat iming-iming besar jika mengurungkan niatnya menginvasi Rafah dan mau menerima gencatan senjata. Iming-iming itu berupa normalisasi hubungan dengan negara sangat penting di Timur Tengah dan dunia Islam, yaitu Arab Saudi.
Normalisasi hubungan ini merupakan “hadiah” yang tak main-main bagi Israel yang selama ini terisolasi di kawasan. Bahkan normalisasi hubungan dengan Arab Saudi merupakan salah satu cita-cita besar Israel yang terus mereka kejar. Namun Riyadh menyatakan bahwa tidak semudah itu Israel akan memperoleh hubungan normal dengan Arab Saudi. Pengakuan negara Palestina harus berdasarkan Inisiatif Damai Arab 2002 sebagai acuan. Tentu Arab Saudi berusaha menjaga muruahnya di publik dunia Islam.
Israel tentu dibuat pusing atas pilihan-pilihan itu. Sebab, batal menginvasi Rafah bisa dianggap kegagalan dari misi utama perang kali ini, yaitu menghancurkan Hamas. Jika memilih invasi ke Rafah, Israel akan kehilangan kesempatan penting membebaskan sejumlah sandera dan normalisasi dengan Arab. Israel juga makin terisolasi di dunia internasional.
Faktor baru lainnya juga sangat penting. Kekuatan-kekuatan sayap kanan Israel yang tergabung dalam koalisi pemerintahan Netanyahu kali ini juga mengancam akan membubarkan pemerintahan jika perjanjian gencatan senjata ditandatangani dan invasi ke Rafah tak jadi dilaksanakan. Kubu kanan Israel menganggap pembatalan invasi ke Rafah sama artinya dengan menyerah kepada Hamas.
Seperti diketahui, Israel menganut sistem parlementer yang mensyaratkan pemerintahan didukung minimal 60+1 anggota parlemen. Pemerintahan Netanyahu hanya didukung 64 kursi. Dari tujuh partai pendukung pemerintahan Netanyahu, ada beberapa partai kanan, yaitu Partai Shah, Mifdel, Otzma Yehudit, dan United Torah. Keempatnya memiliki suara lebih dari 20 kursi di Knesset sehingga ancaman penarikan satu atau dua partai itu saja bisa menjatuhkan pemerintahan Netahyahu sekarang ini.
Kelompok-kelompok garis keras ini berpandangan bahwa pembatalan invasi ke Rafah tidak hanya kegagalan perang membalas aksi Thufan al-Aqsha pada 7 Oktober, tapi juga membahayakan keamanan Israel. Kelompok-kelompok ini sering dituduh “berkolaborasi” dengan Netanyahu yang memang secara pribadi cenderung pada opsi melanjutkan perang. Berhentinya perang bisa menjadi awal kehancuran karier politik Netanyahu, bahkan ia terancam diadili di dalam negeri dan berpotensi menjadi buron dari Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC).
Pertimbangan-pertimbangan seperti inilah yang berseliweran dalam perdebatan para pengambil keputusan dan suara publik Israel. Dampak kemanusiaan yang sudah sedemikian mengerikan dan kehancuran masif di Gaza sedikit sekali muncul ke permukaan. Akibat-akibat perang yang sudah sedemikian menjijikkan yang terus disuarakan oleh media-media tak banyak menjadi pertimbangan. Suara-suara semacam gerakan Peace Now Movement dianggap pinggiran di publik Israel.
Harapan Gencatan Senjata
Invasi darat Israel secara besar-besaran ke Kota Rafah terancam pecah pada hari-hari ini jika negosiasi itu gagal mencapai kesepakatan. Namun muncul kabar yang membawa harapan. Bocoran dari para “akademikus” di Mesir mengenai adanya kemajuan dalam proses negosiasi sungguh menggembirakan. Namun berita mengenai detail kemajuan yang dimaksudkan masih simpang siur.
Salah satu kabar itu adalah kedua pihak bersedia menurunkan tuntutan masing-masing. Pembebasan sejumlah tawanan Israel oleh Hamas akan dibalas dengan gencatan senjata dalam waktu yang cukup panjang, kabarnya sekitar enam pekan. Namun, hingga saat ini, kabar ini juga belum dikonfirmasi secara resmi sehingga segala kemungkinan bisa terjadi.
Sementara itu, di lapangan, Israel sudah bergerak mengepung Kota Rafah dari berbagai penjuru. Hamas diperkirakan juga sudah mempersiapkan diri untuk pertempuran di kota itu. Banyaknya bantuan yang datang dan adanya vakum pertempuran beberapa waktu belakangan jelas memberikan kesempatan kepada Hamas untuk mengumpulkan dan mengkonsolidasikan kekuatan.
Pucuk pimpinan Israel, Benjamin Netanyahu, dan pucuk pimpinan lapangan Hamas, Yahya Sinwar, diperkirakan memilih opsi melanjutkan perang ketimbang perjanjian gencatan senjata. Bagaimanapun penentu utama dalam pengambilan keputusan ini adalah dua orang tersebut. Hal ini yang benar-benar dikhawatirkan. Rakyat Gaza yang sudah sedemikian menderita harus berhadapan dengan potensi pertempuran baru yang tak kalah mengerikan.
Menguatnya tekanan internasional melalui kampus-kampus terhadap pemerintah AS jadi harapan tersisa. Presiden Biden membutuhkan kesuksesan perdamaian ini untuk menjawab tekanan itu. Semoga Netanyahu dan Sinwar bisa dipaksa mengambil opsi gencatan senjata ini meski sementara sehingga tragedi kemanusiaan di depan mata bisa dihindari, setidaknya untuk sementara.
(Sumber: Koran Tempo, Senin, 6 Mei 2024)
_____________________
*CATATAN: Salah besar kalau dikatakan Yahya Sinwar (Pimpinan Tertinggi Hamas Gaza) memilih opsi melanjutkan perang ketimbang perjanjian gencatan senjata.
Hamas mau gencatan senjata kalau itu permanen, bukan sementara. Gencatan senjata sementara (seperti diinginkan Israel, dengan imbalan pembebasan para sandera) hanya akan menguntungkan Israel. Jika skenario ini berjalan, maka setelah sandera dibebaskan, Israel akan meluluhlantakan seluruh Gaza tak bersisa.