Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Negara
Ust. Adi Hidayat salah atau tidak ketika menyebut Surah Asy-Syu'ara = Surah Para Pemusik?
Jawabannya, salah. Dan kesalahan itu bukan sekadar silap lidah (sabqul lisan) atau salah ingat. Tapi memang salah konsep.
•••
Contoh sabqul lisan itu, seperti yang disebutkan dalam Hadits Nabi:
اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ
('Ya Allah Engkau hambaku dan aku ini Tuhan-Mu')
Hadits lengkapnya:
Rasulullah SAW bersabda:
"Sungguh kegembiraan Allah karena taubatnya hamba-Nya melebihi kegembiraan salah seorang dari kalian terhadap hewan tunggangannya di sebuah padang pasir yang luas, namun tiba-tiba hewan tersebut lepas, padahal di atasnya ada makanan dan minuman hingga akhirnya dia merasa putus asa untuk menemukannya kembali. Kemudian ia beristirahat di bawah pohon, namun di saat itu, tiba-tiba dia mendapatkan untanya sudah berdiri di sampingnya. Ia pun segera mengambil tali kekangnya kemudian berkata; 'Ya Allah Engkau hambaku dan aku ini Tuhan-Mu.' Dia telah salah berdo'a karena terlalu senang.'
[HR Muslim 4932]
Itu salah ucap, karena kondisi emosi yang kurang stabil atau alasan lainnya.
Contoh salah ingat itu, seperti yang terjadi pada Imam Malik, yang menyebut 'Umar bin Hakam, harusnya Mu'awiyah bin Hakam.
•••
Kesalahan Ust. Adi terjadi karena beliau menambah argumentasi, dari argumentasi yang diberikan oleh para ulama yang "menghalalkan alat musik", seperti Ibnu Hazm atau Al-Qaradhawi.
Sebenarnya, tambahan argumentasi sah-sah saja, jika memang menambah kuat pendapat tersebut dan lahir dari istidlal yang benar. Sayangnya, itu tidak terjadi. Yang terlihat, malah terkesan "maksa" menyamakan syair dengan musik.
Tentang syair tidak sama dengan musik, sudah banyak sekali asatidz yang menulis. Saya juga ada menulisnya sedikit di FB ini sebelumnya. Dan juga sudah mendiskusikannya panjang lebar di dua WAG "Pencinta Ilmu Syar'i" yang saya ampu.
•••
Kalau sudah clear, bahwa beliau itu salah, dan bukan sekadar silap lidah atau lupa, baru kita bicara hal yang lain.
Jangan sampai kita berbusa membahas hal yang lain, tapi poin beliau salah atau tidak, malah tidak diperjelas.
Saya khawatir, jika hal ini dibiarkan, nanti akan banyak da'i-da'i berikutnya, yang menggampangkan berdalil dan berargumen, tanpa dasar yang kuat. Toh orang awam tidak paham juga.
•••
Nah, kalau bicara hal lain. Bagi orang yang tidak terjebak kubu-kubuan, hal semacam ini sebenarnya tidak sulit. Cara menyikapinya sama saja dengan da'i lainnya yang juga melakukan kesalahan yang semisal.
1. Beliau tetap merupakan da'i yang layak dihormati, sebagaimana da'i lainnya. Hal yang benar dari beliau, tetap diterima. Sedangkan hal yang keliru, ditinggalkan.
2. Besar harapan, beliau bersedia mengoreksi kesalahan tersebut. Namun jika tidak, tugas kita sudah cukup.
3. Nasihat secara umum, kepada setiap da'i dan pengajar agama (termasuk saya), jangan lupa muthalaah (mengkaji/mendalami ilmu) sebelum mengajar, dan hanya menyampaikan materi yang dipahami dengan baik.
Orang awam tahunya cuma retorika. Tapi orang yang tersentuh ilmu, tahu bahwa pondasi keilmuan dan amanah ilmiah jauh lebih penting dari retorika.
•••
Terakhir, saya kembali mengingatkan pada diri saya sendiri dan semua pembaca, jangan mengambil sikap di atas landasan fanatisme kelompok atau tokoh. Lihat kebenaran dari kebenaran itu sendiri.
Mau tokoh yang anda kagumi, maupun yang anda benci, jika pernyataannya benar, akui itu benar. Sebaliknya, mau dari tokoh idola anda maupun dari musuh anda, jika pernyataannya salah, tetap katakan itu salah.
(fb penulis)