PKS akan Solid jika ke Prabowo
Oleh: Rudy Ahmad
Pernyataan elite PKS untuk menggelar karpet merah untuk Prabowo dan membuka peluang kemungkinan masuk koalisi Prabowo menjadi isu kontroversial di publik.
Bagaimana mungkin kader-kader PKS yang begitu "sadis" dalam menyerang Paslon Prabowo-Gibran dan para pendukungnya kemudian dengan mudahnya minta diajak koalisi oleh Prabowo-Gibran.
Diksi yang digunakan juga sadis-sadis; capres afkir, capres tua bangka, capres pelanggar ham, capres pecatan TNI, capres nir etika, capres pengkhianat, capres curang, dan masih banyak lagi diksi lainnya.
Belum lagi julukan-julukan untuk Gibran seperti; belimbing sayur, samsul, anak ingusan atau anak haram konstitusi.
Untuk program-progrma Prabowo-Gibran, PKS jelan-jelas menolak IKN, dan juga menolak di sahkannya RUU Daerah Khusus Jakarta.
Bahkan dalam janji kampanye unggulannya adalah "PKS Menang Ibukota tetap di Jakarta".
Lalu dimana logika 'chemistry' koalisi yang ingin dibangun PKS ke Prabowo-Gibran???
Para juru bicara PKS sekarang mulai menelan ludah sendiri, berbalik arah, membangun rasionalisasi bahwa PKS punya sejarah panjang dengan Prabowo. PKS bukan hanya sekutu dengan Prabowo tetapi segajah. PKS dua kali mendukung Prabowo menjadi capres 2014 dan 2019, itu argumentasi yang dibangun sekarang ini, setelah serangan-serangan sadis ke Prabowo selama kampanye Pilpres 2024.
PKS mendukung Prabowo di 2019, tetapi setelah Prabowo bergabung kabinet Jokowi maka PKS ambil posisi berseberangan dan memilih jadi oposisi.
Tetapi lagi-lagi kader-kader militan PKS di akar rumput membangun persepsi bahwa Prabowo pengkhianat, meninggalkan umat yang sudah mati-matian mendukungnya.
Jadi...apakah wacana PKS berkoalisi dengan Prabowo-Gibran hanyalah keinginan segelintir elite PKS karena sudah lelah menjadi oposisi? atau memang berdasarkan ideologi dan platform kebijakan partai?
PDIP sudah lelah 10 tahun menjadi oposisi yaitu 2004-2014, kemudian PDIP reborn menjadi partai berkuasa lagi selama 10 tahun 2014-2024.
PKS 10 tahun sudah mengambil jalur oposisi 2014-2024, tapi di ujung capresnya kalah dan kursi DPR RI hanya naik 3 kursi menjadi 53 kursi dari 50 kursi di 2019.
Wajar jika para juru bicara PKS menyampaikan bahwa di dalam atau diluar pemerintahan sama saja bagi PKS.
Karena memilih jalan oposisi pada faktanya juga tidak berpengaruh pada angka elektoral PKS, tambahan 3 kursi DPR RI di 2024 bisa ditafsirkan bukan efek menjadi oposisi, tetapi lebih pada efek ekor jas ketika mendukung Anies menjadi capres.
Mungkin dengan logika ini PKS membuka opsi untuk bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran.
Ini opsi logis sebagai partai politik.
Jika PKS menjadi oposisi kembali maka sumberdaya dalam pembiayaan partai pasti akan terbatas, sedangkan politik elektoral sekarang sangat "high cost".
Skenario Elite PKS Mengamankan Keputusan
Elite PKS sangat rasional, tetapi apakah kader-kader militan PKS bisa rasional juga?
Ketika elite PKS membuka peluang bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran, elite PKS pasti sudah menghitung dengan cermat.
Kader militan PKS bagaimanapun ditempa dengan mesin tarbiyah yang solid dan ideologis. Prinsip "sami'na wa atho'na" (kami taat dan kami patuh) adalah aksioma dasar dalam sistem kaderisasi PKS.
Ke-tsiqohan (percaya dan yakin) kepada pimpinan partai adalah mutlak, apalagi dalam wilayah ijtihad politik.
Pimpinan PKS biasanya sudah menyiapkan perangkat justfikasi dan penjelasan untuk mengamankan jika ada protes atau gejolak yang muncul dari kader millitan (terutama kader inti PKS) efek dari keputusan pimpinan partai.
Justifikasi biasanya disiapkan dalam bentuk "taklimat" disertai dengan konsideran Qur-an dan Hadits, di perkuat dengan argumentasi-argumentasi politik dan lapangan.
"Taklimat" ini di sosialisasikan melalui jalur sistem kaderisasi dan dikawal oleh para pimpinan partai sampai di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa.
Jadi opsi PKS gabung dengan koalisi Prabowo-Gibran bukan opsi yang bersifat wacana, tetapi opsi yang benar-benar dihitung oleh elite PKS.
Tapi apakah skenario elite PKS ini akan berjalan mulus? Ini yang perlu diuji.
Kader-kader miltan PKS mempersepsi bahwa pertarungan pilpres bukan sekedar pertarungan politik, tetapi sudah pertarungan ideologis, bahkan sebagian kader-kader militan PKS menganggap ini adalah pertarungan al haq dan al bathil, 01 adalah kubu al haq dan 02 adalah kubu al bathil.
Apakah kader-kader militan ini bisa menerima semua argumentasi dan justifikasi pimpinan PKS? Kita tunggu...
Tapi dalam sejarah PKS, pimpinan PKS terlalu kuat untuk dilawan. Doktrin dan sistem kaderisasi yang dibangun selama 40 tahun sudah terlalu mengakar, sulit tergoyahkan.
Jika ada kader-kader yang coba menggoyahkan aturan dan sistem yang sudah mengakar ini, maka silakan terima nasib akan di "Fahri" kan.
Manuver PKS, Tergantung Prabowo
Keinginan PKS bergabung ke Prabowo-Gibran semuanya tergantung Prabowo.
Jika masuknya PKB dan Nasdem dianggap cukup untuk membangun barisan koalisi di parlemen dan pemerintahan kemungkinan keinginan PKS akan ditolak, apalagi PKS terlihat jual mahal dan gengsi untuk mendatangi Prabowo-Gibran.
Oleh sebab itu sejak awal PKS berdalih siap di dalam atau di luar pemerintahan, karena masih ada kemungkinan proposal koalisinya ditolak Prabowo.
Jika itu yang terjadi maka PKS akan memecahkan rekor politik Indonesia dengan mencetak "hattrick" menjadi oposisi.
Dan jika ini faktanya, publik akan mencatat PKS menjadi oposisi bukan karena ideologi partai, tetapi karena ngga diajak...
Menjadi oposisi bukan karena ideologi partai pasti akan berbeda rasa dan eksekusinya...dan nikmati aja prosesnya....
(*)