Nasrani bukan Kristen?
Oleh: Arif Wibowo
Sebenarnya, saya belum lama menulis tentang hal ini, dalam rangka menyambut buku karya ustadz Wisnu Tanggap Prabowo yang berjudul "Nasrani di Sekeliling Rasulullah". Namun, karena di Youtube banyak muncul pembahasan dari para apologet (pendakwah Kristen) mengenai hal ini, yang intinya bahwa mereka adalah Kristen, bukan Nasrani, jadi umat Islam salah dalam memahami mereka.
Dalam buku yang saya tulis, "Misi Kristen versus Dakwah Islam", sebagai outsider (pihak luar Kristen), saya mengidentifikasikan tiga ciri agama Kristen, yakni agama yang menyejarah, agama yang terorganisasi dan agama misioner.
Istilah agama yang menyejarah, saya ambilkan dari Syed Naquib al Attas dalam Risalah untuk Kaum Muslimin yang memasukkan Kristen ke dalam historical religion, yakni “agama yang dilahirkan, dibela, diasuh dan dibesarkan oleh sejarah.” HIstorisitas ini dapat kita lihat dari perjalanan panjang penamaan institusi keagamaannya.
Mula pertama, jema'at disebut "Kristen" itu oleh Santo Ignatius dari Antiokhia, pada sekitar 100 Masehi, "Kristen" berarti pengikut Kristus. Sebab tema mendasar dalam agama Kristen memang masalah “Kekristusan Yesus”, makanya ilmu yang dikembangkan disebut Kristologi.
Sedangkan kata "Nasrani", adalah sebutan untuk orang-orang Yahudi yang menjadi pengikut Kristen.
Banyak spekulasi mengenai asal kata Nasrani. Ada yang menyebut dari kata Netser (bahasa Ibrani: tunas) yang mengacu kepada nubuatan tentang kedatangan Yesus. Ada yang mengkaitkan dengan kota Nazareth, dan ada juga yang menyebut itu adalah bahasa Arab, terkait kaum hawwariyyun (pengkit Isa), nahnu anshorullah.
Tapi ada benang merah yang bisa ditarik, yakni kata Kareel Steenbrink, bahwa Nasrani adalah tradisi kekristenan yang masih dekat dengan tradisi Yahudi. Bambang Noorsena juga berpendapat senada, Nasrani itu untuk kekristenan Yahudi dan Kristen untuk non Yahudi.
Lha kok bisa beda? Karena memang pada awalnya, kekristenan dikembangkan di kalangan Yahudi, yang kemudian pada era Paulus dikembangkan ke kalangan non Yahudi. Awalnya ia adalah bagian dari Judaisme sebelum akhirnya membentuk agama sendiri yang terpisah, tulis ustadz Wisnu.
Tuhan Yahudi dalam dalam perjanjian lama itu bengis dan hobi menghukum, sangat berbeda dengan Tuhan Kristiani yang penuh kasih, jadi tidak mungkin konsep ini merujuk pada dzat yang sama, demikian kesimpulan seorang uskup bernama Marcion. Meskipun pandangan Marcion ini dihukumi sebagai bidat (bid'ah) pertama dalam kekristenan, namun secara kesejarahan, ia menjadi penanda perpisahan antara Judaisme dengan Kekristenan.
Untuk penamaan umat, kata Kristen sudah dipakai, namun untuk nama institusi kejema'atan, yakni gereja, nama awal yang disepakati oleh gereja arus utama adalah nama "Katolik". Kata Katholik berasal dari kata Eclessia Katha holos atau katholikos; dalam bahasa Indonesia adalah jemaat/ umat Seluruh/ Universal atau Gereja Katolik.
‘Gereja Katolik’ resmi digunakan pada awal abad ke-2 (tahun 107 M), ketika Santo Ignatius dari Antiokhia menjelaskan dalam suratnya kepada jemaat di Smyrna, untuk menyatakan bahwa Gereja Katolik adalah Gereja satu-satunya yang didirikan Yesus Kristus, untuk membedakannya dari para heretik (ajaran sesat) pada saat itu.
Nama ini makin kokoh ketika Kaisar Konstantin menyatakan kredo Ciuis Regio Ilius et Religio, yang kurang lebih artinya, agama penguasa wilayah (raja) adalah agama yang harus dianut oleh rakyat diberlakukan. Sejak saat itu, kekaisaran Romawi ditopang dua penyangga utama, "Kaisar" sebagai poros kekuasaan politik dan "Gereja Katolik" sebagai pemegang mandat kuasa spiritual.
Hal ini berlangsung selama berabad-abad, dimana Katolik menjadi sebuah nama baku bagi gereja yang ada di bekas imperium Romawi. Ketika terjadi skisma (perpecahan) besar, Konstantinopel memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma dan memilih nama "Orthodox Timur" untuk memberi nama gerejanya.
Frasa umat Kristen tetap hidup, bukan menjadi nama tapi ada dalam diskursus spiritual. Baru ketika gereja Katolik Roma mengalami perpecahan, menjadi Katolik dan Protestan, nama Kristen mulai digandengkan dengan kata religion (agama). Yang menggandengkan kedua kata itu pertama kali adalah seorang pemikir Renaisans asal Italia, Marsilio Ficino, dalam bukunya Theologia Platonica yang terbit pada tahun 1478 M.
Namun istilah religion pada gagasan utama Ficino bukanlah institusi agama. Dalam karya tersebut, Ficino menyebut adanya naluri universal dalam diri manusia untuk mencari yang baik, upaya mencari Yang Ilahi, dimana naluri itu diberi nama religio. Di dalam esai yang lebih ringan, Ficino menyebut naluri universal itu sebagai De Christiana Religione, yang dimaknai “tentang sifat Kristus-sentris dari religiusitas manusia universal dalam bentuk idealnya.”
Penggabungan kata "Christiana" dengan "Religione" adalah hal yang baru pada masa itu. Namun yang perlu diingat, frasa ‘religi kristiani’ dalam Marsilio tidak hendak mengenalkan suatu institusi agama, ia adalah semacam fitrah kekristenan yang ada dalam setiap diri manusia.
Identifikasi frasa “Christian Religion” menjadi sebuah institusi keagamaan yang berbeda dengan Katolik Roma dilakukan oleh pemimpin Protestan Swiss, Zwingli. Pada tahun 1525, ia menerbitkan De Vera et Falsa Religione Commentarius. Melalui buku itu, Zwingli dengan tegas membahas religio yang benar dan yang salah di kalangan Kristiani.
Menurut Zwingli, religi yang keliru adalah sakralisasi yang berlebihan terhadap para Paus, konsili, otoritas gereja, dan yang semacam itu. Peluhuran yang begitu hebat terhadap organisasi duniawi yang merupakan mediasi saja dari yang ilahiah, bukanlah yang ilahiah itu sendiri.
Meski demikian di sini nampak, bahwa pada periode ini, Kristen Protestan sebagai sebuah insitusi keagamaan belum berpisah sepenuhnya dari kekristenan lama yang diwakili gereja Katolik Roma. Setelah John Calvin pada tahun 1536 menerbitkan Christianae Religionis Institutio, akhirnya Kristen Protestan resmi bercerai dengan gereja Katolik Roma dan menjadi Institusi Agama yang tersendiri.
Karena itu, coba perhatikan gereja sekeliling kita, kalau ada gereja yang mencantumkan kata Kristen pada papan namanya, seperti Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Kristen Jawa (GKJ), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Kristen Maranatha dan yang semisalnya, dipastikan ia gereja Kristen Protestan. Kalau kata Romo Patris Allegro yang lagi ngetop di tiktok, itu adalah heretiknya Katolik yang baru ada pada abad 16.
Kalau Katolik, tidak mencantumkan kata Kristen dalam nama gerejanya. Karena sebagai nama gereja, Katolik jauh lebih tua, ia sudah dipakai sebagai nama gereja sejak kekristenan purba. Ciri nama gereja Katolik adalah memakai nama para santo atau orang sucinya, seperti Gereja Santo Petrus, Gereja Santo Igantius dan semisalnya.
Lalu, apakah kata nasrani masih relevan dipakai hingga sekarang? Menurut saya masih, sebab, pada masa Nabi Muhammad belum dikenal ada gereja yang memakai nama Kristen. Selain itu, di masa Nabi Muhammad pun, kekristenan sudah terskisma (terpecah) dalam berbagai aliran, baik aliran-aliran besar seperti Katolik, Koptik, Orthodox Syiria, Abbessinia dan Assyiria Timur, ia juga sudah terpecah dalam berbagai aliran kecil yang banyak jumlahnya.
Ciri mereka satu, yakni bersepakat ada "kodrat ilahiah" (ketuhanan) dalam diri Yesus meski dengan beragam tafsirnya.
Lalu dimana orang-orang Ahli kitab yang beriman itu? Kala itu, mereka tinggal sisa-sisa ahli kitab, yang masih ada dalam berbagai aliran, tegas ustadz Wisnu Tanggap Prabowo dalam bukunya.
Untuk buku rujukan, ada semua di rumah ... 😊
(fb penulis)