JADI SAKSI DI MK, ADA EMPAT KEBOHONGAN DAN TIGA KEBODOHAN QODARI
Oleh: Radhar Tribaskoro
Bansos adalah upaya pemerintah untuk memberikan dukungan kepada masyarakat yang membutuhkan, misalnya orang miskin, mengalami bencana, atau dalam situasi khusus yang memerlukan bantuan segera. Dalam konteks ini, bansos adalah bagian dari tanggung jawab sosial pemerintah kepada warganya.
Namun, ketika bansos diberikan pada timing yang dirancang sedemikian rupa untuk mempengaruhi pilihan pemilih menjelang pemilu, hal tersebut bisa dianggap sebagai praktik vote buying atau pembelian suara. Vote buying terjadi ketika seorang kandidat atau pihak yang berkepentingan dengan hasil pemilu, menawarkan materi atau keuntungan lainnya kepada pemilih dengan harapan untuk mendapatkan suara mereka .
Apakah Jokowi melakukan vote buying pada Pilpres 2024 lalu?
Tentu saja. Jokowi diketahui telah memerintahkan penyaluran bansos (bantuan sosial) dan perlinsos (perlindungan sosial) pada bulan januari-februari 2024, bertepatan dengan pemilihan suara 14 Februari 2024.
Timing yang bersamaan itu bukan kebetulan. Hal itu dirancang dengan seksama. Beberapa petunjuknya antara lain: (a) beberapa bulan sebelum pencoblosan Jokowi dikabarkan gelisah karena elektobilitas Prabowo/Gibran masih sekitar 40%konstirusi, (b) kegelisahan itu coba diatasi dengan inisiatif baru berupa perpanjangan bansos/perlinsos sampai dengan bulan Juni 2024, (c) pada sidang kabinet 9 Januari 2024 Jokowi menyetujui alokasi APBN untuk bansos/perlinsos, nilainya diperkirakan mencapai Rp. 50,1 Trilyun, dan (d) alokasi anggaran baru bansos itu habis disalurkan pada hari pencoblosan.
Bahwa bansos/perlinsos disalurkan hanya beberapa saat sebelum hari pemungutan suara tidak bisa ditafsirkan lain, kecuali itu adalah vote buying. Itu seperti anda berada di tempat dan waktu yang sama ketika seseorang mati tertembak, sementara anda dipergoki memegang pistol yang jadi alat pembunuhnya. Anda adalah tersangka. Dengan kata lain, Presiden adalah tersangka pelaku vote buying dengan mempergunakan dana negara dan memperalat aparat negara.
Klaim Muhammad Qodari
Mohammad Qodari adalah pendiri dan Direktur Eksekutif Indo Barometer, suatu perusahaan yang menawarkan jasa survei dan konsultan politik. Dalam sidang Mahkamah Konstitusi membahas sengketa Pilpres 2024, Qodari menjadi saksi untuk paslon #02 Prabowo/Gibran. Kesaksian Qodari pada hari Jumat 5 April dapat disarikan menjadi 3 klaim, yaitu:
Klaim 1: Hanya periset yang membawa kebenaran. Di awal kesaksiannya Qodari mengatakan bahwa hanya ada 2 cara untuk mengetahui kebenaran, yaitu dengan cara ilmiah atau non-ilmiah. Ia mencemooh orang-orang yang tidak berdasar ilmiah (memiliki informasi data lapangan) sebagai omong berdasar kepada perasaan saja. Lalu ia membesar-besarkan dirinya karena mendasarkan pendapatnya kepada hasil survei. Atas klaim ini ada dua tanggapan saya.
Pertama, perlu Qodari ketahui tidak semua survei itu ilmiah, seperti nanti saya buktikan atas survei yang ia lakukan. Kedua, mencari kebenaran itu tidak hanya melalui survei ilmiah saja. Kebenaran dapat diperoleh melalui pemikiran rasional dan logika seperti dilakukan oleh para filsuf. Di sisi lain, para seniman mengungkapkan kebenaran tentang pengalaman manusia, emosi dan perspektif dunia melalui pendekatan subjektif yang tidak kalah pentingnya dibandingkan pendekatan objektif. Sejarawan, dalam pada itu memahami kebenaran tentang masa lalu melalui analisis sumber dan artefak. Metode ini bergantung kepada interpretasi atas bukti dan pemahaman kontekstual yang mendalam.
Singkatnya, ada banyak jalan untuk meraih kebenaran, metode ilmiah bukan satu-satunya cara. Saya belum menyebut para agamawan dan ahli spiritual yang menemukan kebenaran melalui iman dan pengalaman pribadi, dimana semuanya tidak mudah diukur dan jauh melampaui metode ilmiah.
Keterangan ini semoga cukup untuk menjelaskan kepada Qodari bahwa “periset bukan satu-satunya pembawa kebenaran.” Saya percaya Qodari mengerti soal ini, sebab ini pelajaran filsafat tingkat dasar. Kalau ia malah mengatakan sebaliknya, saya percaya ia sedang berbohong.
Klaim 2: Bansos tidak mempengaruhi perilaku pemilih sebab kriteria presiden yang dikehendaki pemilih tidak termasuk pemberi bansos. Qodari menyimpulkan klaim di atas berdasar pertanyaan terbuka dalam survei Indo Barometer, “tidak ada responden yang mengatakan bahwa mereka memilih presiden dengan alasan memberi bansos”. Kebanyakan responden menjawab alasan memilih mereka adalah karena “pemimpin tegas”, “pintar “, “merakyat”, dsb.
Persoalannya ada pada pertanyaan terbuka. Konsep “tegas”, “pintar” atau “merakyat” bagi setiap responden tidak sama. Ketika seorang responden menyebut “tegas”, responden lain memahaminya dengan cara berbeda. Maka menggunakan jawaban atas pertanyaan terbuka sebagai sebuah konsep ilmiah, tidak termasuk ke dalam metode ilmiah. Apakah Qodari tahu prinsip “satu pengertian” sehingga setiap konsep harus didefinisikan dengan ketat dan diukur dengan cermat? Mestinya ia tahu, kalau Qodari tidak tahu maka ia bodoh.
Lain dari itu mengukur kekuatan “bansos” melalui pertanyaan terbuka sungguh tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Responden mana akan menjawab bahwa ia akan memilih kandidat yang “mau memberinya suap”? Korupsi dan suap adalah sifat yang buruk menurut standar etika rakyat Indonesia, lepas dari kenyataan bahwa banyak orang mempraktekannya. Maka ketika tidak ada responden menjawab akan memilih kandidat yang memberi “bansos” tidak berarti bahwa “bansos tidak berpengaruh”. Ini kebodohan Qodari kedua.
Klaim 3: Bansos tidak mempengaruhi perilaku pemilih sebab tidak ada variasi penerima bansos diantara pemilih semua paslon. Klaim ini diajukan oleh Qodari berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, Indikator dan Indikator Politik Indonesia. Litbang Kompas dalam hal ini lebih jelas mengatakan bahwa “…proporsi penerima bansos relatif sama (sekitar 15%) di antara ketiga kelompok responden pemilih capres-cawapres. Meski (demikian)…, (masing-masing) capres-cawapres tersebut memiliki elektabilitas yang berbeda. (Ini)… berarti bansos tak menjadi faktor pengubah elektabilitas capres-cawapres.”
Kesimpulan di atas perlu dipertanyakan. Penerima bansos dari pemilih paslon #01 hanya 15% dari 41 juta, yaitu 6,15 juta, adapun penerima bansos paslon #03 hanya 15% dari 27 juta, yaitu 4 juta. Sementara itu penerima bansos dari paslon #02 mencapai 15% dari 96 juta atau 14,4 juta. Dengan kata lain, bansos menambah suara paslon #03 sebanyak hampir 9% pemilih, sementara paslon #01 bertambah 3,8% dan paslon #03 hanya 2,5% saja. Perbedaan itu sangat menentukan.
Pertanyaan kemudian apakah tersangka Jokowi bisa menemukan pemilih yang kemungkinan besar akan memilih paslon #02 kalau diberi bansos? Pertanyaan ini menjelaskan perilaku Jokowi yang selalu mengunjungi basis konstituen yang sebelumnya dikunjungi oleh Ganjar/Mahfud. Konstituen Ganjar adalah sasaran empuk karena telah memilih Jokowi dua kali. Selain itu menggerogoti konstituen Ganjar bukan cuma menaikkan suara Prabowo namun juga mengurangi suara Ganjar, atau keuntungan ganda. Selain itu, Jokowi bisa menitipkan penyaluran bansos kepada caleg dari partai pendukungnya. Caleg Golkar dan PAN cocok untuk kebutuhannya itu karena mereka sangat agresif yang tidak menggarap ceruknya sendiri namun juga memasuki ceruk konstituen partai pendukung paslon lawan.
Penutup
Kecurangan pemilu dengan memanfaatkan dana negara (bansos) dan aparatur negara adalah fakta telanjang yang tidak bisa ditutupi. Bansos itu telah disalurkan tepat sebelum pemungutan suara. Timing itu tidak menipu, tujuannya jelas, yaitu memenangkan anaknya yang menjadi cawapres. Sekarang terpulang kepada para petinggi dan elit negeri ini apakah kejahatan ini akan dibiarkan begitu saja? Kalau ya, maka peristiwa ini akan menjadi standar bagi eselon pemerintahan lebih bawah untuk melakukan kecurangan yang sama. Lebih dari itu polarisasi politik akan semakin lebar, legitimasi politik semakin sulit didapatkan.
Lebih dari itu para elit di pemerintahan bertanggung-jawab atas tegaknya demokrasi. Hal itu telah termaktub jelas dalam UUD 1945, baik pada dua alinea pembukaan dan 9 pasal UUD 1945. Kemunduran demokrasi di Indonesia tidak bisa dinisbahkan sebagai kesalahan Jokowi semata, tetapi hal itu juga kontribusi dari elit politik Indonesia yang tak acuh, abai bahkan mendukung pelanggaran nilai-nilai demokrasi yang dilakukan Presiden Jokowi.
(Sumber: FNN)
[VIDEO]