Oleh: Syarief Hidayatullah
Jujur mengenai Hukum bersalaman dengan lawan jenis, terlebih di Moment hari Raya dan menjadi Masalah musiman ummat.
Betul, persoalan ini memang menjadi masalah musiman ummat, jangankan musiman bahkan harian pun bisa ditemukan, bersalaman dengan guru yang bukan Mahrom, contohnya.
Diperhatikan, masalah ini bukanlan ranah Ijma’ melainkan masih diperdebatkan oleh para fuqoha, masih ranah Mukhtalaf Fih. Setidaknya, ada dua hukum yang di hasilkan :
Pertama :
Ulama yang mengharamkan dan ini sudah masyhur dikalangan pengkaji fikih.
Kedua :
Ulama memperbolehkan, baik berjabat tangan dengan Non muslim ataupun sesama muslim. Terlebih lagi ini adalah pendapat para Muhaqqiq, dan inilah inti pembahasan tulisan ini.
Beliau, Syekh Ali Jum'ah (Mufti Mesir 2003-2013) menyebutkan beberapa istidlal pendapat ulama yang membolehkan ini :
Pertama : Hadits dengan redaksi إني لا أصافح النساء, hanya khusus diperuntukkan kepada Nabi saja.
Kedua : Dahulu, dimasa pemerintahannya Syyidina Abu Bakar As siddik ra pernah berjabat tangan dengan rakyatnya yang bukan mahrom.
Ketiga : Wanita dari kalangan As ‘Ariyyin seringkali mencari kutu dikepala Abu Musa Al Asy’ari pada waktu berhaji, sedangkan mereka tidak ada ikatan mahrom satu sama lain.
Beliau, Syekh Ali menyebutkan 2 pendapat ini sekaligus memberikan solusi bagi Masyrakat agar leluasa dalam menerima perbedaan pandangan antara ulama.
إنما ينكر المتفق عليه ولا ينكر المختلف فيه فهذا أمر مختلف فيه وليس متفق عليه
“Tidak diingkari perkara yang masih di perselisihkan ulama, melainkan yang diingkari adalah perkara yg sudah menjadi ketetapan bersama. Dan perkara ini bukanlah yang disepakati”.
Memang betul, keluar dari pendapat yang masih diperselihkan itu dianjurkan, artinya mencari aman. Akan tetapi, siapa saja yang diberikan cobaan dengan perkara yg masih menjadi ranah perbedaan, maka dia boleh mengambil pendapat ulama yang membolehkan.
الخروج من الخلاف مستحب، ولكن من ابتلي بشيءٍ من المختلف فيه فليقلد من أجاز
Dua Dasar berfikih ini selalu beliau bawa, menujukkan keluwesan dalam berfikih. Kerena ikhtilaf ulama itu hal pada biasanya dan merupakan rahmat besar bagi ummat.
——
Disamping itu, masalah ini juga dibahas oleh Habib Abdullah Mahfudz Al Haddad, Qodhi Hadromaut pada zamannya.
Beliau menulis dalam Kitab Fatawa Tahummul Mar’ah, (Gambar ada di SS) berisi fatwa fatwa masalah kekinian. Diantaranya, masalah salaman ini.
Memang betul, Mayoritas ulama (4 Imam Mazhab) mengharamkan masalah berjabat tangan ini. Tapi, kebanyakan mereka tidak memperbolehkan bukan karena ada nash yang melarang, malainkan menggunakan teori qiyas. Yaitu teori : setiap yang tidak diperbolehkan memandangnya, tidak diperbolehkan pula menyentuhnya.
Teori seperti ini tidaklah sempurna, karena banyak sekali para ulama mengatakan telapak tangan dan wajah itu bukanlah aurat. Nash Quran dan Hadits tidak ditemukan mengenai kaharaman ini, kecuali mengacu pada dua hadits :
Pertama : Hadits point pertama di atas.
Kedua : Hadits لئن يطعن في رأسكم. Hadits ini tidak sampai tahap haram, paling mentok sampai sangat di makruhkan saja. Karena ada ulama yang menghukuminya Dhaif, yaitu Imam As Suyuthi. Disamping Imam Al Munawi dan Al Mundziri mengatakan periwayatnya benar.
Setidaknya bisa di simpulkan :
Pertama :
Hendaknya bagi siapapun, jika memang harus berjabat tangan, maka isyaratkan dengan ujung jari saja (tanpa bersentuhan). Atau lebih lagi mengatakan saya sedang dalam kedaaan berwudhu, atau berjabat tangan dengan lapis tangan supaya antar kulit tidak bersentuhan. Ini solusi dari ulama yang tidak membolehkan dan tentu lebih utama untuk diterapkan.
Kedua :
Pendapat ulama yang membolehkan mungkin di jadikan opsi atau jalan alternatif, jika memang dirasa dan tentu dengan keyakinan tidak adanya syahwat dan aman dari fitnah. Apalagi sudah menjadi adat di sebgian daerah, terlebih bersama keluarga yang bukan mahrom.
Tak kalah penting untuk diingat, ini masih ranah ijtihadiyyah dan masih berlaku khilaf antar para ulama, terlebih kontemporer. Bukan untuk menggampang atau mencari celah, tapi menunjjukkan keluasan fikih islam itu begini, terlebih dari zaman ke zaman dan melihat situasi dan urf daerah yang berbeda. Tentu sudah diketahui siapa tokoh2 yang berbicara dalam ranah ini (bukan selamanya membenarkan, tak semerta di salahkan).
Sehingga, tidak perlu di katakan yang membolehkan dengan syarat syarat tertentu terlalu menggampangkan, juga yang melarang terlalu keras.
من أراد أن يشدد فليشدد على نفسه
Wallahu a’lam