𝐄𝐍𝐀𝐌 𝐂𝐀𝐓𝐀𝐓𝐀𝐍 𝐏𝐄𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆 𝐓𝐄𝐑𝐊𝐀𝐈𝐓 𝐊𝐇𝐎𝐓𝐁𝐀𝐇 𝐏𝐄𝐍𝐃𝐄𝐓𝐀 𝐆𝐈𝐋𝐁𝐄𝐑𝐓 𝐋𝐔𝐌𝐎𝐈𝐍𝐃𝐎𝐍𝐆 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐓𝐄𝐑𝐊𝐄𝐒𝐀𝐍 𝐌𝐄𝐍𝐈𝐒𝐓𝐀 𝐀𝐉𝐀𝐑𝐀𝐍 𝐈𝐒𝐋𝐀𝐌
Setelah menonton berulang kali video viral yang berisi khotbah Pendeta Gilbert Lumoindong yang terkesan menista ajaran Islam khususnya terkait zakat dan shalat, setidaknya ada enam catatan penting yang dapat saya sampaikan.
𝑷𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂, 𝒂𝒅𝒂 𝒌𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒅𝒊 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒊𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒓𝒊𝒔𝒕𝒆𝒏 𝒔𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒎𝒆𝒓𝒂𝒔𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒚𝒂𝒓 𝒑𝒆𝒓 𝒑𝒖𝒍𝒖𝒉𝒂𝒏 (10 𝒑𝒆𝒓𝒔𝒆𝒏, 𝒑𝒆𝒓 𝒔𝒆𝒑𝒖𝒍𝒖𝒉𝒂𝒏), 𝑮𝒊𝒍𝒃𝒆𝒓𝒕 𝒑𝒖𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒐𝒕𝒊𝒗𝒂𝒔𝒊 𝒋𝒆𝒎𝒂𝒂𝒕𝒏𝒚𝒂 𝒂𝒈𝒂𝒓 𝒎𝒆𝒓𝒂𝒔𝒂 𝒓𝒊𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒚𝒂𝒓 𝒑𝒆𝒓 𝒔𝒆𝒑𝒖𝒍𝒖𝒉𝒂𝒏.
Indikasinya dari dua pernyataannya yang saya transkrip di bawah ini:
- Kita tuh kadang kala kurang bersyukur. Kristen itu enak lho. Ibadahnya cuman seminggu sekali. Saudara sepupu kita (Islam) lima kali sehari (shalat lima waktu). Kenapa kita kebaktian seminggu sekali? Tahu enggak kenapa? Karena bayarnya 10 persen. (Jemaah tertawa). Itu berhubungan Saudara-Saudara!
- Makanya saya tidak pernah tertarik perdebatan tentang perpuluhan. Orang yang enggak mau bayar per puluhan enggak apa-apa! Semua hamba-hamba Tuhan yang bilang enggak usah bayar perpuluhan enggak apa-apa. Bayar 2,5! Enggak usah 10 persen, 2,5 (persen aja). Tapi sembahyangnya lima kali sehari. (Jemaah tertawa).
Sayangnya, dalam memotivasi jemaahnya agar merasa ringan membayar per puluhan, ia mulai membandingkan 10 persen (perpuluhan dalam ajaran Kristen) dengan 2,5 persen (zakat dalam ajaran Islam) dan membandingkan kebaktian di gereja sepekan sekali dengan shalat lima waktu di masjid.
𝑲𝒆𝒅𝒖𝒂, 𝒕𝒆𝒓𝒌𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒂𝒎𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒍𝒂𝒚𝒂𝒏𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒊𝒃𝒂𝒅𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒊𝒕𝒖 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒃𝒊𝒔𝒏𝒊𝒔. 𝑰𝒏𝒅𝒊𝒌𝒂𝒔𝒊𝒏𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒍𝒊𝒉𝒂𝒕 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊 𝒃𝒂𝒘𝒂𝒉 𝒊𝒏𝒊.
Indikasinya ada banyak, enam di antaranya seperti yang saya transkrip di bawah ini:
- Iya, dong, enak aja udah cuman 2,5 mau (sembahyang) seminggu sekali, eeeeh… beda kelas!
- Naik pesawat saja, ekonomi sama bisnis class, makannya beda. Ekonomi (makanannya) di kotak. Bisnis class, ada piringnya. Iya toh? Ekonomi, (di) belakang. Bisnis class, (di) depan.
- Ekonomi sempit. Ini nih, lutut kita, nempel di pantat orang di belakang (maksudnya orang yang di depan). Kita gerak sedikit, ‘Cek’ (ia memperagakan orang di depan yang merasa terganggu sembari menoleh ke belakang sambil berdecak).
- Yang berdebat, berdebat, perpuluhan, apa itu perpuluhan? Ei, jangan duduk di kursi, (tapi duduk di) karpet! Lho, iya kan?
- Bayar 2,5 (persen) duduk di kursi? Eeenak aja! Dari mana Lu aturan begitu?
- Pak Guntur mana? Guntur! Yang 𝑠𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 ini (sembari tangannya menunjuk ke sebelah kanannya), mulai minggu depan jangan taruh kursi. Yang 2,5 (persen) duduk di situ (bagian gereja yang nantinya tanpa kursi lagi). (Jemaat tertawa).
Selain terkesan menyamakan peribadatan di gereja dengan bisnis, ia juga berulang kali membandingkannya dengan zakat dan shalat yang tentu saja dikesankan bahwa zakat dan shalat lima waktu itu sebagai bisnis pula.
𝑲𝒆𝒕𝒊𝒈𝒂, 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒏𝒅𝒊𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒑𝒖𝒍𝒖𝒉𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒛𝒂𝒌𝒂𝒕 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒌𝒆𝒔𝒂𝒏𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝒃𝒂𝒚𝒂𝒓𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒍𝒂𝒚𝒂𝒏𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒊𝒃𝒂𝒅𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒋𝒆𝒍𝒂𝒔 𝒎𝒆𝒓𝒖𝒑𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒔𝒂𝒍𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍.
Memang per sepuluhan atau per puluhan adalah kegiatan memberikan 10 persen dari penghasilan jemaat kepada tempat ibadah (gereja), untuk membangun sarana dan prasarana gereja, biaya operasional gereja termasuk menggaji pendetanya.
Tetapi, zakat itu merupakan sedekah wajib dari 𝑚𝑢𝑧𝑎𝑘𝑘𝑖 (orang Islam yang dikenai kewajiban membayar zakat atas kepemilikan harta yang telah mencapai nisab dan haul) untuk dibagikan kepada delapan golongan 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎ℎ𝑖𝑞 (orang Islam yang berhak menerima zakat) saja yakni: fakir, miskin, ibnu sabil, fi sabilillah, mualaf, budak yang ingin memerdekakan diri, dan amil.
Sama sekali tidak boleh diberikan kepada selain kedelapan golongan tersebut termasuk untuk tempat ibadah (masjid), baik sarana, prasarana masjid, biaya operasional masjid maupun menggaji imam masjid.
Jadi, zakat yang 2,5 persen itu sama sekali bukan untuk biaya pelayanan peribadatan di masjid. Maka, Muslim baik 𝑚𝑢𝑧𝑎𝑘𝑘𝑖 maupun 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎ℎ𝑖𝑞 shalatnya sama persis. Yang datang duluan, dipersilakan shalat paling depan, tidak dibeda-bedakan.
Yang bayar zakatnya paling banyak sama sekali tidak berhak duduk di kursi begitu juga 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎ℎ𝑖𝑞. Namun bagi jamaah shalat yang sakit sehingga kesulitan berdiri dalam shalat, maka untuk dirinya dibolehkan shalat sambil duduk di kursi.
𝑲𝒆𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕, 𝒆𝒏𝒕𝒂𝒉 𝒃𝒆𝒓𝒎𝒂𝒌𝒔𝒖𝒅 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒊𝒔𝒕𝒂 𝒂𝒋𝒂𝒓𝒂𝒏 𝑰𝒔𝒍𝒂𝒎 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌, 𝒋𝒆𝒍𝒂𝒔 𝒌𝒉𝒐𝒕𝒃𝒂𝒉𝒏𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒆𝒃𝒖𝒕 𝒕𝒆𝒓𝒂𝒔𝒂 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝒔𝒂𝒚𝒂 (𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒋𝒖𝒓𝒏𝒂𝒍𝒊𝒔 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒅𝒊𝒌𝒊𝒕 𝒃𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒃𝒂𝒉𝒂𝒔𝒂 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂 𝒎𝒂𝒖𝒑𝒖𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒂𝒔𝒂 𝒏𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒃𝒂𝒍 𝒑𝒆𝒏𝒈𝒈𝒖𝒏𝒂 𝒃𝒂𝒉𝒂𝒔𝒂 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂), 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝒑𝒆𝒏𝒊𝒔𝒕𝒂𝒂𝒏. 𝐈𝒕𝒖 𝒕𝒆𝒓𝒍𝒊𝒉𝒂𝒕 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒄𝒂𝒓𝒂 𝒅𝒊𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒃𝒊𝒄𝒂𝒓𝒂, 𝒈𝒆𝒔𝒕𝒖𝒓 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉, 𝒅𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒕𝒂𝒘𝒂 𝒌𝒆𝒕𝒊𝒌𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒏𝒅𝒊𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒑𝒖𝒍𝒖𝒉𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒛𝒂𝒌𝒂𝒕, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒏𝒅𝒊𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒃𝒂𝒌𝒕𝒊𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒔𝒉𝒂𝒍𝒂𝒕.
Indikasinya bisa dilihat di semua transkrip di atas dan beberapa transkrip di bawah ini:
- (Ia tertawa lalu bilang) Ada yang lihat saya begini (memperagakan jemaatnya melihat Gilbert sambil manggut-manggut tanda sepakat). Pasti bayar per puluhan dia itu (sambil menunjuk ke jemaat dimaksud). Puas banget dia, seminggu sekali. Enggak usah cuci-cuci (wudhu). Iya 𝑘𝑎𝑛? Enggak usah bergerak-bergerak (sebagaimana gerakan shalat).
- 𝐿ℎ𝑜 𝑘𝑎𝑛 bayar 10 persen, makanya kebaktian tenang aja. Iya 𝑘𝑎𝑛? Paling berdiri, nyanyi, tepuk tangan. Santai. Tapi kalau 2,5 (persen), setengah mati. (Lalu Gilbert memperagakan orang shalat mulai dari takbiratul ikhram sampai rukuk. Jemaah tertawa).
- Yang paling berat terakhirnya (attahiyat akhir) mesti lipat (jempol) kaki (kanan). (Jemaat tertawa). Enggak semua orang bisa… (sambil tertawa). Iya 𝑘𝑎𝑛? Kaki mesti 𝑑𝑖𝑙𝑖𝑝𝑒𝑡, ℎ𝑒𝑖𝑖𝑎𝑎𝑎, tapi ya udahlah namanya juga 2,5 (persen).
𝑲𝒆𝒍𝒊𝒎𝒂, 𝒂𝒑𝒂𝒌𝒂𝒉 𝒊𝒂 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒌𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒃𝒂𝒏𝒅𝒊𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒌𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒍𝒆𝒄𝒆𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒋𝒂𝒓𝒂𝒏 𝑰𝒔𝒍𝒂𝒎 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒆𝒃𝒖𝒕 𝒎𝒖𝒏𝒄𝒖𝒍 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒌𝒆𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒔𝒆𝒌𝒂𝒅𝒂𝒓 𝒃𝒂𝒍𝒂𝒔𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑰𝒔𝒍𝒂𝒎 𝒎𝒆𝒎𝒖𝒍𝒂𝒊 𝒅𝒖𝒍𝒖𝒂𝒏? 𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒕𝒂𝒉𝒖.
.
Poin kelima ini muncul karena ada pernyataan dia di akhir-akhir khotbahnya seperti ini:
- Bayar 2,5 (persen) duduk di kursi? Eeenak aja! Dari mana Lu, aturan begitu? Dan bukan cuman itu, ada teman saya ustadz, jail banget ya, “Orang Kristen dari mana-mana masuk gereja, langsung masuk. Kita orang Islam diajari bersih. Sebelum sembahyang cuci-cuci semuanya (sembari memeragakan wudhu bagian hidung).”
- Saya bilang, “Lu 2,5 (persen)! (ketawa jemaah meledak lagi). Gue sepuluh persen, bukan berarti gue jorok tapi disucikan oleh darah Yesus.” (Jemaat tepuk tangan).
Tapi yang jelas, Islam mengajarkan kepada kaum Muslim untuk tidak menghina ajaran agama lain termasuk Kristen karena mereka akan membalas penghinaan tersebut terhadap ajaran Islam tanpa ilmu.
Terlepas pernyataan Gilbert ini balasan atau bukan, yang jelas ia terkesan menghina zakat dan shalat benar-benar tanpa ilmu. Padahal, dapat dengan mudah mencari literasi tentang zakat dan shalat di Indonesia ini.
Selain itu, Gilbertnya sendiri wujudnya jelas dan indikasi penghinaannya juga sangat jelas sehingga sudah semestinya diproses secara hukum untuk memberikan efek jera kepada siapa saja yang coba-coba menista agama, agama apa pun termasuk Islam.
Adapun ustadz yang dimaksud Gilbert tersebut, itu siapa? Ada baiknya juga diungkap. Lalu dipastikan oleh ahli Kristen sendiri apakah itu termasuk penistaan atau bukan, dan silakan saja proses ustadz tersebut ke ranah hukum bila memang disimpulkan sebagai penistaan. Agar ke depannya tidak ada lagi ada acara nista menista ajaran agama, agama apa pun termasuk Kristen.
𝑲𝒆𝒆𝒏𝒂𝒎, 𝑰𝒔𝒍𝒂𝒎 𝒎𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒖𝒎𝒂𝒕𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒊𝒔𝒕𝒂 𝒂𝒈𝒂𝒎𝒂 𝒍𝒂𝒊𝒏, 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝑰𝒔𝒍𝒂𝒎 𝒎𝒆𝒘𝒂𝒋𝒊𝒃𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒎𝒂𝒕𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒅𝒂𝒌𝒘𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒋𝒂𝒓𝒂𝒏 𝑰𝒔𝒍𝒂𝒎 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒑𝒆𝒎𝒆𝒍𝒖𝒌 𝒂𝒈𝒂𝒎𝒂 𝒍𝒂𝒊𝒏.
Islam mewajibkan kaum Muslim berdakwah. Dakwah kepada sesama Muslim tujuannya agar senantiasa sama-sama taat pada syariat Islam. Sedangkan dakwah kepada non-Muslim tujuannya agar orang kafir tersebut masuk Islam.
Namun dalam berdakwah, Islam melarang kaum Muslim memaksa orang kafir memeluk Islam, tetapi Islam mengajarkan kepada kaum Muslim agar mengungkap kesalahan mereka setidaknya dalam dua poin besar.
𝑃𝑜𝑖𝑛 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎. Jelaskan kepada para penganut agama lain tersebut, misal agama Kristen, bahwa aturan-aturan yang dibuat pemuka agamanya itu tidak berdasarkan perintah Tuhan, bila memang para pemuka agamanya membuat aturannya sendiri bukan berdasarkan perintah Tuhan. Tujuannya agar mereka sadar sudah dibodohi oleh pemuka agamanya sendiri.
Namun bila sudah jelas di mata dia bahwa pemuka agamanyalah yang membuat aturan, bukan Tuhan, lalu tetap saja taat kepada pemuka agamanya tersebut maka tegaskan kepada dirinya bahwa sesungguhnya dirinya bukan menyembah Tuhan yang sebenarnya tetapi menyembah para pemuka agamanya sendiri.
𝑃𝑜𝑖𝑛 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎. Tunjukkan bahwa kitab sucinya karangan manusia, bukan wahyu dari Tuhan. Bila sudah mengetahui kitab sucinya karangan manusia, atau sudah tidak murni wahyu Tuhan lagi, maka sesungguhnya agamanya tersebut sudah sama saja dengan poin besar pertama di atas.
Itulah dua poin besar dari sekian banyak poin besar dalam ajaran Islam dalam mengungkap kesalahan agama lain agar mereka sadar bahwa agama yang dianutnya keliru. Tetapi sekali lagi, Islam memang mewajibkan Muslimin mengajak mereka masuk Islam tetapi secara tegas melarang umat Islam menghina agama mereka dan juga melarang memaksa mereka masuk Islam. 𝑊𝑎𝑙𝑙𝑎ℎ𝑢’𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑏𝑖𝑠ℎ-𝑠ℎ𝑎𝑤𝑤𝑎𝑏. []
Depok, 11 Syawal 1445 H | 19 April 2024 M
Joko Prasetyo
(Jurnalis)