[PORTAL-ISLAM.ID] Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen, Dr KRMT Roy Suryo mengungkap SIREKAP KPU sudah dikunci (pattern/dipatok) 01 24 persen, 02 58 persen, 03 17 persen.
[VIDIO]
Pantas perolehan 01 TDK bisa LBH dari 30% dan 03 tidak lebih dari 20%. Karena sistem nya sdh dikunci. Jika 01 bisa diatas 30% dan 03 bisa diatas 20% , perolehan 02 bisa dibawah 50%. Artinya akan terjadi dua putaran putaran. Maka cara yg aman dng ngunci sistem. pic.twitter.com/VAOzXd9n0d
— Mohammad Khafid Khafid (@MohammadKhafid3) March 6, 2024
---------------------
Antara TSM dan Anomali Sirekap KPU
Oleh : Dr KRMT Roy Suryo
Singkatan TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif) saat ini menjadi kata yang banyak diperbincangkan pasca pelaksanaan Pemilu 2024. Saat ini hasil Pemilu masih dalam tahapan rekapitulasi suara secara manual berjenjang dan menggunakan Sirekap.
Namun uniknya, mulai dari penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu), peserta pemilu (partai, caleg) hingga masyarakat saling memiliki definisi dan menyuarakan istilah TSM tersebut dengan pemahaman masing-masing, sehingga kerap terjadi ketidaksesuaian makna antara satu dengan lainnya.
Oleh karena itu, saya tidak mau membuat definisi sendiri tentang TSM, namun mengambil acuan baku Bahasa Indonesia untuk pengertian sebuah kata yang resmi dan seharusnya digunakan pengertiannya di masyarakat. Acuan baku yang dimaksud adalah KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang sekarang dengan sangat mudah diakses karena memiliki fasilitas online yang membuatnya bisa diklik di alamat kbbi.web.id.
Masing-masing kata TSM tersebut menurut KBBI adalah pertama, terstruktur, merupakan verb (kata kerja) yang artinya “sudah dalam keadaan disusun dan diatur rapi”. Kedua, sistematis adalah “teratur menurut sistemnya yang diatur baik-baik”. Sedangkan masif setidaknya memiliki 5 arti, salah satunya adalah “besar-besaran”. Contoh kalimatnya: “Kecurangan dalam Pemilu tahun ini terjadi secara masif hingga menyebabkan pergolakan di masyarakat.”
Dalam konteks Pemilu, UU Nomor 7 tahun 2017 mengatur pelanggaran TSM pada pasal 286. Namun, pasal itu membahas pelanggaran TSM dalam konteks PiLeg. Pelanggaran terstruktur adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama.
Kemudian pelanggaran sistematis dimaknai sebagai pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Adapun pelanggaran masif adalah pelanggaran yang dampaknya sangat luas terhadap hasil pemilihan.
Aturan lebih rinci mengenai pelanggaran TSM dituangkan dalam Peraturan Bawaslu Nomor 8 tahun 2018. Laporan atas dugaan pelanggaran TSM bisa disidang Bawaslu jika disertakan bukti terjadi di sejumlah wilayah.
“Untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pelanggaran terjadi paling sedikit 50 persen dari jumlah daerah provinsi di Indonesia,” demikian bunyi pasal 24 ayat (8) huruf c Perbawaslu Nomor 8 tahun 2018.
Ini artinya kalau hanya letterlijk dengan aturan diatas, maka TSM hanya dinilai secara kuantitatif saja, alias tidak melihat kualitatifnya, ini yang dirasa sangat tidak tepat.
Oleh sebab itu seharusnya jika secara kualitatif sudah terjadi pelanggaran secara TSM, maka seharusnya pulalah definisi-definisi dalam TSM ini bisa diberlakukan, tidak sekedar menggunakan batas psikologis 50 persen sebagaimana yang kemarin-kemarin diberlakukan. Misalnya terdapat koreksi perhitungan Sirekap di 154.541 TPS (dari total 823.220 TPS) di Pemilu 2024 ini, maka hal tersebut saja sudah bernilai 154.461 : 823.220 x 100persen alias 18,77%. Apakah angka 18,77 persen ini dianggap kecil? Aneh, jumlahnya saja sudah ratusan ribu TPS bermasalah, bukan hanya puluhan, ribuan atau hanya ratusan TPS saja.
Demikian juga dengan berbagai penyimpangan (baca: pelanggaran) UU sebagaimana yang dilakukan oleh Sirekap yang sudah saya ungkap dalam tulisan-tulisan terdahulu, dimulai dari penempatan server di Singapura (Aliyun Computing Co.Ltd, yang merupakan bagian dari Alibaba.com), hingga pemindahannya -secara “diam diam”- ke Indonesia (meski tetap menggunakan Alibaba Cloud), dan sebagainya.
Hal ini sudah bisa dilihat sebagai upaya terstruktur karena perubahan negara tempat keberadaan data tersebut (dari Singapura ke Indonesia) adalah pekerjaan yang membutuhkan kondisi tersusun dan diatur rapi, termasuk pengaturan DNS (Domain Name Server) dan IP Address-nya.
Selanjutnya adalah adanya upaya untukk melakukan “penonaktifan” website kpu.go.id pada 14 Februari 2024 dengan seolah-olah diinformasikan bahwa KPU sedang mengalami “Serangan-serangan Siber(?”)” yang sebenarnya pada saat tersebut sedang terjadi proses pemuatan data lain yang sudah disiapkan sebelumnya dari json sirek.obj-data.kpu.go.id mulai pukul 19.21 WIB di pemilu2024.kpu.go.id.
Ini aneh karena data-data dari TPS sebenarnya belum ada yang masuk tetapi sudah terinput dengan progres 100 persen dengan kemenangan pada paslon tertentu. Hal ini bisa disebut sangat sistematis.
Ditambah dengan kalau dibedah dengan detail, pada saat hari H tersebut semua TPS Indonesia masih menggunakan App Mobile Sirekap 2.41, namun setelah server (di)mati(kan) tersebut maka diinformasikan untuk didownload versi terbaru 2.48 (bahkan bila dicermati mulai saat BIMTEK hingga saat ini, sudah terjadi 10 kali). Perubahan versi Sirekap mulai versi 2.25-Staging 28/01/24 hingga terakhir versi 2.52 24/02/24 ini sangat masif, mirip-mirip dengan putusan MK90, dilakukan perubahan ketika proses sudah dijalankan dengan segala cara.
Hal paling menarik terjadi saat Perubahan App SIREKAP 2.41 10/02/24 ke 2.48 15/02/24 dimana terjadi penghapusan fungsi, penambahan folder dan penambahan Script Java. Secara singkat inilah yang menjelaskan mengapa angka-angka hasil OCR & OMR yang seharusnya minim terjadinya kesalahan bisa “bertambah otomatis” alias Auto-Algorithm. Hal yang menarik dari perubahan versi ini sebenarnya malah menghilangkan Fitur Pengamanan menjadi semakin “lemah” karena bisa diinterupsi melalui back door dibanding sebelumnya.
Kesimpulannya, dengan demikian sangat tampak jelas bahwa dibalik Aplikasi Sirekap yang digunakan dalam Pemilu 2024 ini terdapat banyak “Anomali” yang sulit untuk bisa ditoleransi sebagai sebuah “kesalahan sistem atau alat”, apalagi kalau KPU kemarin malah menyalahkan “Resolusi Kamera HP” para petugas TPS yang audah sekuat tenaga bekerja dengan sejujurnya, bahkan kadang-kadang diitambah taruhan nyawa mereka yang berjibaku di tengah lapangan. Sangat jelas bahwa OCR dan OMR tidak akan bisa “menambah sendiri (angka)” dari Form C-Hasil menjadi bertambah puluhan, ratusan bahkan ribuan, apalagi jika fitur tidak ada yang dikurangi agar “Automatic-Cut” tiap kolom tetap diaktifkan, tidak malah dihilangkan.
At last but not least, semua penjelasan teknis di atas dapat saya jelaskan dengan sistematis dan detail bersama Tim IT Independen pada Rabu 28 Februari 2024 pukul 10.00 WIB di Resto Plataran Menteng agar masyarakat benar-benar dapat memahami bagaimana TSM-nya upaya yang dilakukan dengan aplikasi Sirekap 2024 di Pemilu saat ini.
Soal apakah hasil dari telaah teknis yang benar-benar murni ilmiah ini akan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, itu adalah keniscayaan saja. Karena toh semua di sini ada dasar ilmiah murni sesuai dengan fakta temuan teknis yang terjadi sesungguhnya di lapangan. Semoga bermanfaat bagi masa depan Indonesia. (*)