Rahasia di balik Transformasi Saudi
Oleh: Fathi Nasrullah
Dua orang di foto ini dulunya adalah semacam polisi, bukan polisi resmi berpangkat, tapi polisi Syariah atau al-haiah yang memiliki keleluasaan menegakkan hukum Islam di seluruh Saudi.
Di zaman itu, haiah bisa menutup toko yang pemiliknya tak shalat berjama'ah, menindak yang jilbabnya acak kadut, menangkap perempuan yang menyetir, menggrebek dukun, sampai menangkap orang-orang yang diduga melakukan praktek kesyirikan saat Haji dan Umroh.
Pernah juga ada orang yang menista Islam saat di negaranya, ia ditandai, dan ketika masuk Saudi langsung dicokok untuk dihadapkan pada tuntutan hukum pancung. Masalah ini kemudian diselesaikan dengan negosiasi antar negara.
Haiah sangat efektif mengawasi pelanggaran dibanding polisi biasa. Karena memiliki motivasi sebagai Wahabi penegak Tauhid.
Menangkap, melarang, menginterogasi sampai mengayunkan rotan adalah tugas sehari-hari mereka demi terciptanya masyarakat yang tertib Islami.
Namun reformasi sosial dan aturan Kerajaan demi mewujudkan Visi Saudi 2030, haiah harus dipangkas wewenangnya.
Di masa lalu, 1-2 kesalahan dan reputasi yang seram atau galak, membuat haiah kurang disukai oleh sebagian orang.
Visi 2030 menitikberatkan upaya Saudi lepas dari ketergantungan ekonomi pada minyak.
Dengan kata lain, Saudi harus menciptakan kemandirian ekonominya sendiri. Dua hal yang paling menonjol dari pengeluaran devisa adalah warganya melancong ke negara lain untuk mencari hiburan dan gaji tenaga kerja asing.
Di masa kejayaan minyak, hampir semua orang Saudi adalah bos. Mereka kerja sedikit hasilnya selangit. Masuk kerja jam 1 siang, pulang sebelum ashar.
Sektor-sektor kasar dan riil dikerjakan oleh buruh asing dari trio IPB, Indonesia serta Filipina yang jumlahnya melebihi 10 juta orang.
Gampangnya, visi 2030 adalah umpan ke generasi muda Saudi supaya mau bekerja lebih keras. Kerajaan membuka luas aneka hiburan buat ente, tapi ente harus kerja dan nanti bayar pajak.
Makanya sekarang banyak generasi muda perkotaan Saudi kerja jaga kafe, ngojek mobil, sopir taksi, pelayan al-Baik, capek-capek jadi wartawan dst. Dulu mah brojol jadi calon direktur.
Namun, istilah "hiburan" memiliki antonim (lawan kata) yang sangat kuat, yaitu "haiah", sang penegak amar maruf nahi munkar.
Agar industri hiburan bisa jalan, dalam 5 tahun terakhir dipretelilah wewenang haiah. Jika melihat pelanggar mereka tak bisa menindak langsung, cuma boleh amar maruf (nasehat), sedangkan nahi munkarnya (penindakan) haiah harus lapor polisi.
Akibatnya haiah sekarang bergerak seperti ormas dan jama'ah Tabligh yang dakwah di jalanan atau door to door.
Jika ada ikhtilat (campur baur laki perempuan), haiah harus panggil polisi untuk membubarkan.
Ada sekelompok anak muda sibuk main bola di waktu shalat, haiah ga bisa maksa mereka ke masjid, untuk mengajak mereka shalat diadakan pendekatan persuasif. Yaitu gelar tiker di lapangan futsal untuk shalat berjama'ah.
Lalu gimana, jika acara hiburannya malah diadakan oleh pejabat Kementerian Hiburan? Seperti Riyadh Season.
Pastinya haiah ga bisa ngapa-ngapain.
Berkurangnya wewenang membuat haiah kerap jadi bulan-bulanan kelompok liberal nanggung yang ga suka mereka. Diolok di medsos adalah hal biasa bagi haiah saat ini.
Kalo dulu, si kurang ajar itu bisa langsung ditandai rumahnya dan dihadiahi rotan.
Kabar buruknya, haiah bukanlah profesi yang populer. Kebanyakan anggotanya berasal dari para peternak Kambing di gurun. Tanpa kaderisasi, bukan mustahil haiah terus mengecil lalu hanya tersisa di Mekkah dan Madinah.
Bukan tak mungkin juga generasi muda Saudi di masa depan yang kerja kasar demi makan dan hiburan, melihat masa lalu kejayaan Wahabi dengan gelimang harta.... lalu nemu meme:
"Piye le penak jamanku to, makan tuh blekping.."