PELAJARAN BERHARGA DARI SEORANG BAPAK BERPENAMPILAN SEDERHANA
Penampilan bapak ini tampak sangat sederhana. Tapi di balik kesederhanaannya, tersimpan keistimewaan dalam dirinya yang bisa menjadi contoh bagi saya khususnya.
Saya bertemu bapak ini di kereta Brantas dalam perjalanan dari Jakarta menuju Solo. Ia duduk di bangku depan saya. Sesuai tiket, ia akan turun di Stasiun Brebes. Tapi, kota tujuan sebenarnya ke Semarang, rumahnya.
"Kenapa turun Brebes pak? Ngga sekalian bablas ke Semarang. Toh kereta ini kan nanti juga akan ke Semarang?" tanyaku.
Ia menjawab dengan senyum. Ia mengatakan, ia ingin menunaikan shalat Maghrib dan Isya' secara sempurna dengan berdiri berjamaah di masjid. Karena ini Ramadhan, ia juga sekalian makmum Tarawih di Masjid. Karena itu, ia memilih turun di Stasiun Brebes sekira pukul 17.15 WIB lalu keluar ke Masjid dekat stasiun. Selanjutnya nanti, setelah selesai shalat Tarawih, ia melanjutkan perjalanan dengan kereta berikutnya dengan tujuan Semarang. Biaya yang dikeluarkan tentunya lebih mahal daripada kalau langsung ke Semarang.
Saya memperhatikan, keinginannya yang kuat untuk mendekatkan diri kepada Allah, membuat dia merasa ringan untuk turun dari kereta agar bisa shalat jamaah. Barangkali, ia tidak ingin perjalanannya mengganggu hubungannya dengan Allah dan ibadahnya selama Ramadhan. Ini bukan soal pelajaran fiqih ibadah dalam perjalanan (safar), tetapi soal bagaimana pengorbanan seorang hamba untuk mencoba mendekati Rabb-Nya dengan caranya.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul, bapak itu mengaku sebagai seorang PNS di Kementerian Keuangan yang berkantor di kawasan Semanggi, Jakarta. Saya menduga ia bekerja di instansi pajak dengan jabatan cukup tinggi karena ia menyebut nama-nama pejabat BUMN Perkebunan yang beberapa kali rapat dengannya dan saya tahu. Semula, saya sempat menyangkanya sebagai pedagang pasar yang akan mudik jarak menengah.
Seringkali kita terbiasa menilai seseorang dari penampilan. Tak terlalu salah dan cukup wajar sebenarnya. Tapi tak boleh kita seharusnya menyimpulkan atau bahkan meremehkan seseorang hanya berdasarkan penampilannya semata tanpa interaksi atau komunikasi sebelumnya. Tanpa komunikasi dengan bapak itu, saya tak memperoleh pelajaran berharga hari ini dari orang lain tentang bagaimana cara ia menempatkan shalat jamaah sebagai prioritas utama di dalam kehidupannya.
Cukup lama kami ngobrol, Bapak itu lalu berpamitan turun setelah kereta tiba di Stasiun Brebes. Saya tidak sempat bertanya namanya. Tapi ia mengaku sebagai pelaju rutin Jakarta-Semarang setiap pekan yang biasanya naik kereta.
"Duluan mas, assalamualaikum," pungkasnya berpamitan.
"Wa'alaikum salam," jawabku.
(Ahmed Fikreatif)