"Ustadz, suami saya enggan membiayai biaya persalinan saya dengan sesar. Ia sangat pelit dan perhitungan. Bahkan buat makan di luar pun patungan. Sekarang di saat saya hamil ia mentalak saya. Apakah talaknya sah? Dan apakah kalau saya meneruskan proses di Pengadilan Agama saya berdosa dan diancam tak mencium wangi surga?"
Sebelum menjawab pertanyaan di atas saya bertanya pada ibu yang terzalimi itu: "Suaminya salafi?"
Dijawabnya: "Iya, ustadz. Dia ikut taklim salafi."
Saya sudah sering mendapatkan kasus-kasus suami pelit sama istri. Dan hanya mau memberikan nafkah sebatas makanan--itupun seirit-iritnya.
Pemahaman ngawur dan salah kaprah tersebut memang banyak dijumpai dikalangan orang yang ikut taklim di ustadz salafi.
Guru sangat tekstual memahami teks ulama. Tak paham ushul syariah dan maqoshidnya. Membaca qodhoya masa silam tanpa mengerti illat dan sebabnya. Sementara zaman sekarang berbeda. Kesehatan adalah kebutuhan yang penting. Bahkan lebih penting dari makanan dan pakaian.
Pendapat para fuqoha empat madzhab yang tak mewajibkan para suami membayar biaya kesehatan istri tidak tepat buat zaman sekarang karena sudah beda jauh keadaan, kebutuhan dan tuntutannya antara dahulu dan kini.
Istri dalam konteks keluarga modern punya peran sangat besar. Tanpa istri yang banyak berperan seperti sekarang maka para suami tak bisa melakukan apa-apa. Apalagi dalam kebanyakan madzhab dikatakan bahwa istri tak wajib membantu suaminya dalam pekerjaan-pekerjaan rumah.
Fiqh Islam dalam masalah-masalah di atas perlu rumusan baru. Sehingga hak-hak istri terlindung. Dan istri tidak dipandang sebagai barang yang dipakai sesuai syahwat suami kapan pun namun ia enggan memenuhi kebutuhan dasar istri sesuai zaman sekarang.
Kemudian saya menjawab: "Talak suami kepada istrinya yang sedang hamil adalah sah. Dan, ibu tak terkena ancaman larangan dalam hadits di atas bila meneruskan proses perceraian di Pengadilan Agama dikarenakan suami tak mengesahkan talaknya melalui proses peradilan."
Wallaahu A'lam.
(Ustadz Hafidin Achmad Luthfie)
*fb