Mengapa PPP Terdepak dari Senayan?
ACHMAD Baidowi terkejut manakala mengetahui pengumuman hasil rekapitulasi penghitungan suara nasional yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum. Harapan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan itu untuk kembali duduk sebagai anggota DPR kandas. Partai berlambang Ka'bah ini tidak lolos syarat ambang batas parlemen alias parliamentary threshold sebesar 4 persen.
Perasaan Sekretaris Fraksi PPP di DPR itu seketika terasa teriris. Ini merupakan pertama kalinya partainya gagal mengamankan kursi bagi calon legislatornya di Senayan. “Kami tengah menyiapkan gugatan ke Badan Pengawas Pemilu dan Mahkamah Konstitusi,” ujar Achmad Baidowi yang sering disapa Awiek itu kepada Tempo, Kamis, 21 Maret 2024.
Awiek tampaknya hanya bisa pasrah sambil bersiap dengan materi gugatan ke Mahkamah Konstitusi dan Bawaslu. Dia mengatakan PPP selama ini telah berjuang meningkatkan elektabilitas partai. Sejak 8-20 Maret lalu, PPP telah mengamati rekapitulasi perolehan suara. Mereka mendapatkan hasil berbeda dari penetapan KPU. Menurut dia, ada perbedaan angka yang signifikan antara hasil di dapil dan ketetapan KPU. Berdasarkan data dan penghitungan internal partai, perolehan suara PPP melampaui 4 persen.
Pada Rabu, 20 Maret lalu, KPU mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara nasional Pemilu 2024 dari 38 provinsi dan 128 wilayah luar negeri. Hasilnya, PPP dinyatakan menjadi salah satu partai politik yang tidak memenuhi ambang batas parlemen 4 persen. PPP memperoleh suara nasional sebanyak 5.879.777 atau 3,87 persen suara dari total 84 daerah pemilihan. PPP harus terdepak dari Senayan lantaran perolehan suaranya tak mampu melampaui ambang batas parlemen 4 persen seperti yang ditetapkan.
Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat PPP Rusli Effendi mengatakan, setelah KPU membacakan hasil pengumuman, Ketua Majelis Pertimbangan PPP Muhammad Romahurmuziy alias Rommy beserta segelintir elite partai berlambang Ka’bah segera menggelar rapat internal. Rapat dipimpin langsung pelaksana tugas Ketua Umum PPP Muhammad Mardiono membahas persiapan gugatan partai ke Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi. “Dilakukan untuk mencari dan mengembalikan suara PPP yang digembosi,” ujar Rusli.
Analisa Pengamat
Peneliti senior Populi Center Usep Saepul Ahyar mengatakan terdapat beberapa faktor anjloknya perolehan suara PPP pada Pemilu 2024. Menurut dia, strategi PPP bergabung dengan koalisi PDIP yang mengusung pasangan calon presiden-wakil presiden Ganjar Pranowo-Mahfud Md. tidak serta-merta membuat partai menerima pengaruh atau efek ekor jas.
“Perbedaan ideologi antara Ganjar dan PPP mengakibatkan partai tidak menerima efek tersebut,” kata Usep. Ekor jas atau efek ekor jas adalah istilah umum yang merujuk pada hasil yang diraih salah satu pihak dengan cara melibatkan tokoh penting, baik langsung maupun tidak langsung, melalui suatu perhelatan.
PPP, Usep melanjutkan, sejatinya merupakan partai dengan idelogi religius yang berseberangan dengan PDIP yang memegang ideologi nasionalis. Meski ditopang Mahfud Md., yang disebut-sebut berlatar belakang partai berbasis Islam, hal tersebut tidak mempengaruhi simpati pemilih PPP yang cenderung teguh dengan ideologi religius.
Usep juga menilai strategi kampanye PPP dinilai gagal menarik pemilih muda. PPP saat ini menjadi partai yang terus menerapkan asas konservatif, alih-alih progresif. “Bonus demografi pemilih muda seakan-akan tidak dipertimbangkan.”
Ihwal efek ekor jas, Direktur Trias Politika Strategis Agung Baskoro mengatakan perbedaan ideologi partai dan pasangan calon berdampak gagalnya PPP ke Senayan. Dukungan PPP terhadap pasangan calon Ganjar-Mahfud dinilai tak mampu menarik suara elektoral.
Menurut Agung, pasangan Ganjar-Mahfud secara institusional lebih mengidentikkan kaum nasionalis. Sedangkan PPP adalah partai dengan latar belakang nilai-nilai Islam. Perbedaan itu membuat PPP tak mendapat efek ekor jas dari Ganjar-Mahfud. “Di sinilah efek ekor jas tidak mengalir deras untuk PPP,” katanya.
Salah Strategi
Seorang legislator PPP di Senayan tak menampik pandangan bahwa partainya dinilai salah strategi. Partainya juga dinilai tidak memanfaatkan bonus demografi pemilih milenial yang ada. Dia mengatakan transisi kepemimpinan dari Suharso Monoarfa yang disebut-sebut tersandung polemik “amplop kiai” sehingga digantikan oleh Mardiono menyebabkan terjadinya perubahan gaya kepemimpinan di lingkup internal partai. “Hal yang dilakukan Suharso memang tidak diteruskan Mardiono. Memang, setiap pemimpin memiliki caranya tersendiri,” ujar legislator tersebut.
Seorang politikus senior PPP mengatakan partai terlena akan kenangan masa lalu manakala Ketua Umum Hamzah Haz didapuk sebagai wakil presiden, yang saat itu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Politikus PPP itu menilai pengurus teras PPP saat ini seakan-akan menilai chemistry antara PDIP dan PPP pada saat itu dapat terulang di masa sekarang. Padahal konstituen PPP di akar rumput tidak menghendaki perjodohan dengan PDIP yang berbeda ideologi.
Dari perjodohan itu pula, kata politikus tersebut, konstituen PPP mulai terbelah. Sebagai partai yang berdiri dari fusi empat partai politik Islam pada 1973, PPP dikenal memiliki basis konstituen yang beragam dalam kalangan Islam, misalnya para Nahdliyin yang kental dengan PKB dan Islam konservatif-sosial yang lekat dengan PKS. Menurut dia, kegagalan PPP menjadi partai yang berhaluan Islam teknokratik menyebabkan PPP kehilangan basis konstituen manakala PKB dan PKS mulai memasuki fase perkembangan.
Pada Maret lalu, Romahurmuziy menyadari bahwa risiko berkoalisi dengan PDIP dalam ajang kontestasi elektoral memang besar dalam urusan basis konstituen. Namun, dia menjelaskan, ideologi nasionalisme dan religiositas harus tetap hadir dalam konsep kepemimpinan ke depan.
Usep Saepul Ahyar menilai, sejak Pemilu 2004, PPP terus kehilangan ceruk konstituen di berbagai wilayah lantaran terus bertahan dengan pola dan gerak partai era Orde Baru.
“PPP saat ini seperti barang antik yang kehilangan pangsa pasarnya. Tidak mengherankan, dari pemilu ke pemilu, ceruk suaranya beralih ke partai Islam lainnya, seperti PKB dan PKS yang lebih progresif,” ujarnya.
(Sumber: TEMPO)