𝐊𝐮𝐛𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐈𝐛𝐮𝐧𝐝𝐚 𝐊̣𝐨𝐝𝐢̄𝐣𝐚𝐡
Saya follow FansPage foto-foto ḥajji di masa lalu. Ketika ada postingan kuburan Ibunda Ḳodījah رضي الله تعالى عنها di masa lalu yang dibangun Masjid di atasnya, namun sekarang sudah tidak ada lagi.
Ada seseakun Kejawen Abangan mengomentarinya: "Wahaboy menghancurkannya".
Saya ketawa miris melihat komentar kaum Kejawen Abangan itu…
Betapa tidak, pertama FansPage itu berbahasa Inggris, lalu dikomentari bahasa Indonesia… well… dimaklumi memang IQ 79, namun komentarnya itu yang menyalahkan Wahhābiyy atas dihancurkannya Masjid-Masjid yang dibangun di atas kuburan itu sungguh menunjukkan jati diri mereka yang sesungguynya…
Kenapa?
Karena jelas bahwa larangan membangun kuburan itu datangnya dari Baginda Nabī ﷺ sendiri…!
Iya… bukankah Ṣoḥābat Jābir ibn Àbdillāh رضي الله تعالى عنه mengatakan:
نَهَى رَسُولُ ٱللهِ ﷺ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rosūlullōh ﷺ melarang mengapur kuburan, duduk di atasnya, atau dibangun bangunan di atasnya.”
Bukankah Ṣoḥābat Abū Saȉd al-Ḳudriyy رضي الله تعالى عنه mengatakan:
أَنَّ ٱلنَّبِيَّ ﷺ وَسَلَّمَ ، نَهَى أَنْ يُبْنَى عَلَى ٱلْقَبْرِ
“Bahwasanya Nabī ﷺ melarang membangun bangunan di atas kuburan.”
Bahkan Baginda Nabī ﷺ tak hanya sekadar melarang, akan tetapi Beliau ﷺ pernah mengutus Àlī ibn Abī Ṭōlib رضي الله تعالى عنه untuk meratakan kuburan-kuburan yang ditunggikan sebagaimana diriwayatkan oleh Abū al-Hayyāj al-Asadiyy bahwa Àlī ibn Abī Ṭōlib mengatakan kepadanya:
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ ٱللهِ ﷺ ؟ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“Maukah kamu aku utus untuk sebuah misi sebagaimana dulu Rosūlullōh ﷺ dulu mengutusku? Jangan kamu biarkan sebuah patung-patung kecuali kamu hancurkan, dan (tidak pula) kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan!”
Kenapa Baginda Nabī ﷺ melakukan itu…?
Karena mendirikan Masjid di atas kuburan orang-orang yang dianggap waliy itu adalah kebiasaan orang-orang Yahūdi & Naṣrōnī, sebagaimana sabda Baginda Nabī ﷺ ketika mendengar kisah dari ummu Ḥabībah dan ummu Salamah رضي الله تعالى عنهما:
أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ ٱلْعَبْدُ ٱلصَّالِحُ أَوِ ٱلرَّجُلُ ٱلصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ ألصُّوَرَ ، أُوْلَئِكَ شِرَارُ ٱلْخَلْقِ عِنْدَ ٱللهِ يَوْمَ ٱلْقِيَامَةِ
“Mereka itu adalah suatu kaum yang apabila ada orang yang ṣōlih atau seorang hamba yang ṣōlih wafat di antara mereka, maka mereka bangun di atas kuburannya sebuah tempat ìbādah dan mereka buat di dalam tempat itu patung-patung. Mereka itulah maḳlūq yang paling buruk di hadapan Allōh pada hari Qiyāmat.”
Saking buruknya perbuatan menjadikan Masjid di atas kuburan itu, Baginda Nabī ﷺ bersabda:
لَعْنَةُ ٱللهِ عَلَى ٱلْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى ٱتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“La`nat Allōh atas Yahūdi dan Naṣrōnī karena mereka menjadikan kubur-kubur Nabī mereka sebagai tempat ìbādah.”
Ṣoḥābat Jundub ibn Àbdillāh رضي الله تعالى عنه mengatakan bahwa 5 hari sebelum Nabī ﷺ wafat, Beliau bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا ٱلْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ.
“Sungguh-sungguh ummat-ummat sebelum kamu telah menjadikan kuburan nabī-nabī dan orang-orang ṣōlih mereka sebagai tempat ìbādah, maka janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai tempat ìbādah, karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu!”
Diriwayatkan bahwa Baginda Nabī ﷺ berdoa agar kuburan Beliau tidak dijadikan sesuatu yang diìbādahi:
ٱللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَناً يُعْبَدُ
“Wahai Allōh, janganlah Engkau menjadikan kuburanku sebagai sesuatu yang diìbādahi.”
Al-Imām Muḥammad ibn Idrīs aṡ-Ṡāfiìyy رحمه الله تعالى di dalam kitābnya, al-Umm, menyatakan:
وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُبْنَى، وَلَا يُجَصَّصَ فَإِنَّ ذَلِكَ يُشْبِهُ الزِّينَةَ وَالْخُيَلَاءَ، وَلَيْسَ الْمَوْتُ مَوْضِعَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَلَمْ أَرَ قُبُورَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ مُجَصَّصَةً
“Aku menyukai agar kuburan tidak dibangun dan tidak dikapur /disemen. Sebab hal itu menyerupai perbuatan berhias dan menyombongkan diri. Sedangkan kematian bukanlah tempat untuk berhias dan bersombong. Aku juga tidak melihat kuburan para Ṣoḥābat Muhajirin dan Anṣōr dibangun.”
Nah dari uraian di atas, jelas bahwa kaum Kejawen Abangan itu sama sekali BUKAN mengikuti Baginda Nabī ﷺ dan bukan pula mengikuti Imām aṡ-Ṡāfiìyy seperti yang mereka gembar-gemborkan.
Alḥamdulillāh Ḥarōmain dikuasai oleh Wahhābiyy, sungguh tak terbayang kalau kaum Kejawen Abangan itu yang menguasai, kuburan para Salafuṣ-Ṣōliḥ bisa jadi tempat-tempat ngalap berkah atau pesugihan… iyuuuuuuh…
Naȕżubillāhi min żālik.
(Ustadz Arsyad Syahrial)