Pada tahun 13 Hijriyyah, bertepatan tahun 634 Masehi pasca wafatnya Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan tahun pertama pemerintahan Umar bin Khaththab RA, terjadi pertempuran besar antara pasukan Islam melawan pasukan Persia.
Diawali dengan pertempuran Jisr atau jembatan di bawah pimpinan Abu Ubaid bin Mas’ud Ats-Tsaqafi. Pertempuran yang terjadi di jembatan Sungai Eufrat itu berakhir dengan mundurnya pasukan kaum muslimin dan syahidnya Abu Ubaid berserta tujuh panglima lainnya.
Cukup sedih para sahabat akan hasil peperangan tersebut dan Khalifah Umar harus menghibur mereka karena mereka merasa telah lari dari medan tempur dan khawatir amal mereka musnah, tapi Umar menasehati mereka bahwa mereka tidak termasuk ke dalam ancaman itu (lari dari peperangan, salah satu dosa besar) dan mereka tidak lari tapi termasuk yang dikecuali dalam surah Al-Anfal ayat 16, yaitu kelompok yang menggabungkan diri ke pasukan lain (mutahayyizin ilaa fi`ah).
Maka pada bulan Ramadhan di tahun itu Umar memerintahkan salah seorang sahabat Rasulullah Mutsanna bin Haritsah menjadi panglima. Mutsanna sendiri ikut dalam perang jembatan bersama Abu Ubaid dan dia terluka parah bahkan saat harus memimpin pasukan di Buwaib ini pun dia masih belum pulih benar.
Peperangan pun terjadi, dan kali ini pasukan muslimin belajar dari kesalahan strategi di perang jembatan, di mana Abu Ubaid melanggar nasehat Umar yaitu dia tidak mengikuti hasil musyawarah sahabat Rasulullah, lalu memperdengarkan kemarahannya kepada utusan musuh, dan dia terlalu berani dan terprovokasi untuk tidak dikatakan pengecut akhirnya dia yang memilih untuk menyeberangi Sungai, padahal strategi itu adalah strategi yang tak pernah dikenal oleh bangsa arab dan akhirnya mereka kalah kuat. Bangsa arab sendiri biasanya berperang di padang pasir dan telah mempersiapkan jalan di belakang untuk mundur bila musuh terlalu kuat. Nah kalau di belakangnya Sungai mereka mau mundur ke mana?
Maka Mustanna memilih untuk bertahan di seberang Sungai dan membiarkan pasukan Persia yang menyeberang. Hampir saja kekalahan terjadi lagi andai bukan pertolongan Allah dengan semangat Ramadhan, hingga akhirnya kaum muslimin berhasil mengalahkan Persia dan membunuh sekitar 100 ribu pasukannya di pinggir Sungai Eufrat.
Dalam pertempuran ini kepiawaian Mutsanna sangat teruji, meski terluka dia tetap menyemangati para regu kepala-kepala suku untuk tetap bertahan. Dia datangi kepala suku satu persatu dan menyemangati mereka dengan kata-kata yang menyenangkan mereka, meski di antara mereka ada yang bukan muslim seperti Anas bin Hilal dari suku Namr yang masih Kristen dan Ibnu Marda dari sukuk Taghlib yang juga masik Kristen.
Nah di sini Mutsanna berhasil membangkitkan nasionalisme arab kaum Nashrani ini, sehingga mereka mau berperang bersama kaum muslimin demi melawan orang Persia yang non arab. Tentu di kalangan kaum muslimin bukan itu yang akan dibangkitkan, makanya kalimat propaganda Mutsanna kepada kaum muslimin berbeda dengan propagandanya kepada kalangan Nashrani Arab kala itu.
Ketika Mutsanna melihat sebagian pasukan yang kurang rapi maka dia menyemangati mereka dengan mengatakan, “Panglima menyampaikan salam kepada kalain, Jangan mempermalukan bangsa arab hari ini ayo rapikan barisan!”
Dia juga berhasil menyelusup ke barisan musuh, dan juga memfatwakan pasukan untuk membatalkan puasa dan makan dulu agar mereka tetap kuat berperang.
Dalam peperangan ini pula pasukan muslimin dibantu suku-suku Irak yang masih beragama Kristen dari Bani Taghlib sebagai sekutu mereka. Ini merupakan dalil bolehnya meminta bantuan agama lain untuk memerangi kaum musyrikin lainnya asalkan pimpinannya adalah kaum muslimin.
Taktik pamungkas Mutsanna, ketika melihat pasukan Persia makin berang maka dia memberanikan diri menembus untuk mencapai panglima mereka kalau itu yaitu Mihran, sampai akhirnya dia berhasil mendesak Mihran dari tempatnya meski akhirnya yang membunuh Mihran adalah orang lain, ada yg mengatakan Nashrani Bani Taghlib yang mengawal Mutsanna tapi di riwayat lain Jari bin Abdullah Al-Bajali lah yang memenggal kepala Mihran, sementar Mundzir bin Hassan yg menusuknya. Lalu mereka berdua berbagi salab (harta yang di badan korban).
Setelah itu pasukan Persia mulai goyah mengetahui panglima mereka terbunuh, dan mereka kocar kacir. Mereka hendak mundur menuju jembatan yang telah mereka buat ke seberang Sungai Eufrat, tapi Mutsanna malah mendahului mereka ke jembatan itu dan merobohkan jembatan itu hingga pasukan Persia yang sudah mau lari ini tak ada tempat lari dan akhirnya terbantai sampai ratusan ribu.
Nah, anehnya setelah itu Panglima Mutsanna menyesal kenapa tak membiarkan saja mereka lari, hingga dia berpesan kepada pasukannya, “Ini adalah kesalahan, dan tak boleh terulang lagi.” Itu sebagaimana ditulis oleh Imam Ath-Thabari dalam Tarikhnya.
Tak lama setelah pertempuran di Buwaib ini, Mutsanna pun wafat akibat luka-lukanya.
Bayangkan seorang panglima perang shabat Rasulullah Mutsanna bin Haritsah RA, masih tak tega mengingat dia telah menyebabkan kematian lebih dari 100 ribu pasukan musuh bersenjata dan mengandaikan kalau saja dia tidak merobohkan jembatan mereka biar mereka bisa lari dengan selamat ke negeri mereka.
Padahal secara hukum syariat orang-orang itu memang boleh dibunuh karena ini terjadi dalam peperangan, dan Mutsanna sebenarnya tidak bersalah atas itu, tapi itulah Islam, selalu punya sifat kasih sayang meski kepada musuh sekalipun.
Bandingkan dengann para tentara kera dan babi zionis itu, mereka sengaja menyasar anak-anak dan warga sipil tak bersenjata karena mereka tak mampu membunuh mujahidin yang pegang senjata.
(Ustadz Anshari Taslim)