Peluang Mendiskualifikasi Gibran Rakabuming
Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar menggelar pertemuan lanjutan dengan tim hukum mereka di markas Tim Nasional Pemenangan Anies-Muhaimin, Jalan Diponegoro X, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 25 Maret 2024. Mereka membahas persiapan menghadapi persidangan gugatan perkara perselisihan hasil pemilihan presiden 2024 di Mahkamah Konstitusi.
"Kami bahas strategi di persidangan nanti," kata Ari Yusuf Amir, Ketua Umum Tim Hukum Nasional Anies-Muhaimin, Senin kemarin.
Ari mengatakan pertemuan tersebut belum tuntas. Karena itu, mereka akan kembali menggelar rapat hari ini, yang rencananya juga dihadiri Anies dan Muhaimin.
Anies-Muhaimin mendaftarkan gugatan sengketa hasil pemilihan presiden 2024 ke Mahkamah Konstitusi pada 21 Maret lalu. Gugatan setebal 100 halaman itu berisi berbagai dugaan kecurangan Pemilihan Umum 2024 yang dilengkapi bukti-bukti.
Pasangan calon presiden nomor urut satu ini mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi satu hari setelah Komisi Pemilihan Umum menetapkan hasil pemilihan presiden. KPU menetapkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang. Pasangan calon presiden nomor urut dua itu meraih 96,21 juta suara atau 58,6 persen. Sedangkan Anies-Muhaimin memperoleh 40,97 juta suara atau 24,9 persen dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. meraih 27,04 juta suara atau 16,5 persen.
Ari Yusuf mengatakan kemenangan Prabowo-Gibran sarat dengan kecurangan dan pelanggaran. Dugaan kecurangan pemilu itu di antaranya mengenai pencalonan Gibran. Putra sulung Presiden Joko Widodo ini bisa menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Oktober tahun lalu.
Paman Gibran, Anwar Usman, yang saat itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi, berperan dalam mengabulkan permohonan uji materi pasal yang mengatur batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden tersebut. Anwar lantas diadukan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Majelis Kehormatan MK memutuskan Anwar melakukan pelanggaran berat kode etik. Anwar dikenai sanksi pencopotan dari jabatan Ketua MK.
"(Dugaan kecurangan) ini dimulai setelah masuknya keterlibatan Gibran sebagai calon wakil presiden," kata Ari, satu hari sebelum mendaftarkan gugatan ke MK.
Ari menegaskan, permohonan Anies-Muhaimin tentang sengketa perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi tidak akan berfokus pada hasil pemilu. Tim Anies-Muhaimin akan menyajikan sejumlah fakta bagaimana perolehan suara dalam pemilihan presiden 2024 berasal dari dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Kecurangan itu, kata dia, antara lain berupa keterlibatan aparat pemerintah dari tingkat atas sampai kepala desa serta penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, di antaranya untuk bantuan sosial dan bantuan langsung tunai, buat kepentingan salah satu pasangan calon presiden.
Ia mengatakan fakta-fakta itu akan disertai bukti dugaan keterlibatan presiden, menteri, kepala daerah atau penjabat kepala daerah, sampai kepala desa. "Ini semua kami punya bukti-buktinya. Inilah yang akan kami paparkan di Mahkamah Konstitusi saat sidang sengketa PHPU," ujarnya.
Menurut Ari, perolehan suara Prabowo-Gibran seharusnya tidak melebihi 50 persen. Namun, kata dia, akibat berbagai dugaan kecurangan melalui operasi yang masif tersebut, perolehan suara pasangan calon nomor urut dua itu melonjak.
Tim hukum Anies-Muhaimin menyiapkan petitum atau permohonan yang isinya meminta pembatalan pencalonan Gibran. Kemudian tim hukum meminta pemungutan suara diulang tanpa melibatkan Gibran.
Petitum serupa diajukan kubu Ganjar-Mahfud. Pasangan calon presiden nomor urut tiga ini mendaftarkan gugatan PHPU ke Mahkamah Konstitusi pada 23 Maret lalu. Gugatan setebal 208 halaman itu berisi berbagai fakta kecurangan pemilu yang dilengkapi bukti-bukti.
Anggota Kedeputian Hukum Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Heru Muzaki, mengatakan, dalam petitumnya, mereka meminta Gibran didiskualifikasi dari Pemilu 2024. Mereka juga meminta Mahkamah Konstitusi memerintahkan KPU menggelar pemungutan suara ulang di semua wilayah Indonesia.
"Kami akan berfokus pada pelanggaran dan kecurangan atau kami lebih menyebutnya kejahatan yang terstruktur, sistematis, dan masif," kata Heru, Senin kemarin. "Kami menyiapkan 496 bukti dengan 30 saksi bersama 10 ahli."
Menurut Heru, kejahatan pemilu tersebut tidak hanya terjadi pada hari pencoblosan, melainkan bermula sebelum Gibran dideklarasikan sebagai cawapres hingga setelah pemungutan suara.
Ia menyebutkan kecurangan itu di antaranya berupa distribusi bantuan sosial pemerintahan secara ugal-ugalan, yang diduga untuk memenangkan Prabowo-Gibran. Tim Ganjar-Mahfud sudah menyiapkan bukti bahwa distribusi bansos tersebut tidak sesuai dengan undang-undang. Bukti itu didesain dengan bentuk infografik untuk mempermudah hakim memahaminya.
"Kemudian yang paling penting adalah efek asosiatif bansos tersebut terhadap paslon 02," kata Heru.
KPU maupun kubu Prabowo-Gibran sudah siap menghadapi gugatan tersebut. Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Mochammad Afifuddin mengatakan pihaknya melakukan konsolidasi tiga hari, 24-26 Maret, untuk menghadapi sengketa PHPU di Mahkamah Konstitusi.
"KPU mengkonsolidasikan jajaran divisi hukum se-Indonesia untuk menghadapi sengketa di MK," katanya, Ahad, 24 Maret lalu.
Afifuddin mengatakan, dalam konsolidasi itu, KPU menyiapkan strategi, jawaban, dan bukti-bukti guna menjawab segala gugatan sengketa PHPU di MK, baik untuk pemilihan presiden, pemilihan legislatif, maupun pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Wakil Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, menilai Mahkamah Konstitusi akan sulit mengabulkan petitum kedua kubu. Sebab, mereka sama-sama meminta Mahkamah membatalkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai uji materi Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Yusril berpendapat, petitum tersebut seharusnya dibawa ke Badan Pengawas Pemilu karena bersifat administrasi dan bukan ranah MK.
Yusril mengkomando Tim Pembela Prabowo-Gibran yang beranggotakan 35 advokat. Mereka mendaftarkan Prabowo-Gibran sebagai pihak terkait dalam sengketa PHPU di Mahkamah Konstitusi, Senin malam kemarin.
Wakil Sekretaris TKN Prabowo-Gibran, Saleh Partaonan Daulay, mengatakan akan ada kebingungan jika Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasi Gibran. Sebab, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi dasar pencalonan Gibran bersifat final dan mengikat.
"Saya tidak melihat ada ruang yang terbuka untuk mempersoalkan hal itu lagi," kata Saleh.
Heru Muzaki menepis pendapat Yusril dan Saleh tersebut. Heru mengatakan kewenangan Mahkamah Konstitusi bukan hanya pada hasil pemilu. Sebab, Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan MK berwenang mengadili perselisihan tentang pemilu. Artinya, kata Heru, MK juga berwenang mengadili faktor-faktor atau hal yang terjadi sebelum pemilu.
Berdasarkan penafsiran tersebut, kata dia, Tim Hukum Ganjar-Mahfud menekankan bahwa MK bisa mengadili peristiwa pemilu bukan hanya pada 14 Februari, tapi juga sebelum dan setelah pencoblosan.
Heru berpendapat, MK harus melihat bahwa Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 sudah ditetapkan cacat etik oleh Majelis Kehormatan MK. Karena itu, Tim Hukum Ganjar-Mahfud meminta MK memeriksa kembali putusan tersebut.
Pakar tata hukum negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan MK bisa saja memeriksa petitum yang dimohonkan kedua kubu calon presiden. Alasannya, pemilu bukan sekadar angka. Dengan demikian, hakim MK harus mengurai bagaimana Prabowo-Gibran bisa memperoleh angka kemenangan tersebut.
"Apakah dengan cara curang atau tidak, termasuk proses di hulu dan pencalonan Gibran," ujarnya.
Herdiansyah berpendapat, idealnya pelaporan pelanggaran pemilu memang melalui Bawaslu lebih dulu. Namun pemohon bisa saja mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi jika Bawaslu tidak menanggapi laporan mereka. Dengan demikian, pemohon bisa mendalilkan bahwa laporan mereka diabaikan Bawaslu.
Analis sosial-politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, menilai gugatan Anies-Muhaimin ataupun Ganjar-Mahfud bisa dikabulkan jika pembuktiannya dapat meyakinkan hakim bahwa terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif. "Meskipun kemungkinannya 50 : 50 karena faktor subyektif para hakim yang masih mungkin muncul," katanya.
(Sumber: Koran TEMPO, Selasa, 26 Maret 2024)