Akibat penggunaan anggaran negara untuk program makan gratis yang kurang bijak, akhirnya rakyat Kuba malah kelaparan.
Program makan siang gratis bisa bernasib sama. 450 triliun per tahun dibakar hanya untuk satu kali makan dalam sehari yang halu-nya diklaim bisa memperbaiki gizi anak-anak.
Padahal dengan cara bodoh lainnya, kalau 450 triliun itu dibagikan 100 juta per keluarga pra sejahtera, lalu dengan 100 juta itu mereka dididik untuk berniaga, setahun bisa mengentaskan 4,5 juta keluarga dari kemiskinan. 2 tahun bisa menyejahterakan 9 juta keluarga secara instan.
Dan bayangkan jika 450 triliun itu dialokasikan untuk pendidikan.
(Wendra Setiawan)
---------------------------
Dulu Bagi Makanan Gratis ke Warga, Kini Negara Komunis Ini Kelaparan
Kondisi perekonomian Kuba saat ini terus memburuk. Situasi ini terjadi tatkala kekurangan makanan dan energi dialami warga Negeri Komunis Amerika Latin itu.
Angka resmi menunjukkan rata-rata inflasi tahunan Kuba hampir 50% per tahun selama tiga tahun terakhir. Di sisi lain, negeri penghasil cerutu itu juga mengalami penurunan produk domestik bruto sebesar 2%.
Baru-baru ini, harga bensin naik lima kali lipat, dan PDB berada 10% di bawah nilai pada tahun 2019. Mata uang peso diperdagangkan pada hari Senin pada 325 terhadap dolar, dibandingkan dengan kurs resmi 24 (kurs lain sebesar 120 digunakan untuk barang-barang tertentu).
Kondisi ini kontras dengan apa yang terjadi pada tahun 1960-an lalu di negara itu. Di era itu, pemerintah memberi makan keluarga Kuba segala sesuatu mulai dari hamburger, ikan, susu, hingga coklat dan bir. Orang-orang bahkan mendapatkan kue untuk ulang tahun dan pernikahan.
Program itu dinamai "Libreta". Libreta diluncurkan pada bulan Juli 1963 dan menjadi salah satu pilar sistem sosialis di pulau tersebut.
Namun pada tahun 1990, terjadi krisis di Kuba, di mana bantuan Uni Soviet kepada negara itu lenyap seketika karena bubarnya patron komunis itu. Kondisi ini pun terus berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya.
Keadaan ekonomi yang terus tidak menentu ini kemudian membuat warga mulai bereksodus ke luar negeri. Dalam dua tahun terakhir, terjadi eksodus hampir setengah juta warga Kuba ke Amerika Serikat (AS), sementara ribuan lainnya menuju Eropa.
Di sisi lain, bagi yang tidak pergi ke luar negeri, jatah makanan yang berkurang pun mulai melanda. Situasi semakin buruk ketika pasar-pasar swasta kecil mulai dibuka, mengenakan harga yang serupa dengan harga internasional, yang tak dapat dicapai negara yang penduduknya hanya bergaji tetap antara US$ 16 (Rp 253.000) dan US$ 23 (Rp 363.000) per bulan itu
"Kami tidak lagi memiliki barang seperti biasanya. Kami menderita banyak kekurangan," kata seorang warga bernama María de los Ángeles Pozo kepada Associated Press, dikutip Senin (25/3/2024).
Pozo hanya membayar US$ 2 (Rp 31 ribu) di toko-toko negara yang disubsidi dengan nilai tukar saat ini. Dengan uang itu, ia mendapat beberapa pon beras, kacang-kacangan, sedikit gula dan garam, minyak, daging olahan dan sabun untuk keluarganya yang beranggotakan tiga orang.
"Semuanya datang dalam porsi kecil dan tertunda," paparnya seraya membandingkan situasi saat Libreta berjalan dengan baik.
Pemerintah Kuba menyalahkan kerusakan ekonomi yang diakibatkan oleh Covid-19, serta sanksi AS dan perubahan makroekonomi dalam beberapa tahun terakhir yang telah menyebabkan inflasi yang parah.
"Saat ini Anda dapat melihat toko-toko swasta yang memiliki semua produk yang Anda inginkan: susu, roti, gula, apa pun yang Anda inginkan, dengan harga yang tidak terjangkau oleh sebagian besar penduduk," kata Wakil Menteri Luar Negeri Carlos Fernández de Cossío dalam sebuah pernyataan.
Meski begitu, Havana sebenarnya telah lama berjuang mengatasi kekurangan produksi. Camaguey, salah satu pusat peternakan utama di Kuba, hanya memproduksi 42,8 juta liter susu tahun lalu, dari 81,3 juta liter yang telah disetujui oleh produsen untuk dijual. Para produsen mengeluh bahwa harga yang ditetapkan pemerintah tidak mampu menutupi biaya yang dikeluarkan.
"Kurangnya uang tunai dan peralatan yang dibutuhkan membuat situasi menjadi lebih buruk jika tidak ada pasokan pertanian seperti insektisida dan pupuk," kata Ricardo Torres, ekonom di American University di Washington.
(CNBC)