[PORTAL-ISLAM.ID] Rencana Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) untuk pelayanan semua agama, mendapat tanggapan dari berbagai pihak termasuk tokoh PKS yang juga Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid.
Menurut dia, usulan itu akan memberatkan warga non-Muslim yang akan menikah, karena KUA identik dengan warga beragama Islam.
Menurut Hidayat, hal itu akan menimbulkan beban psikologis serta ideologis bagi kalangan non-muslim karena akan terjadi prosedur tambahan.
Hidayat mendesak Yaqut untuk lebih fokus mengoptimalkan peran KUA serta memaksimalkan peran dan fungsi penyuluh keagamaan, termasuk soal konsultasi pranikah daripada membebani Ditjen Bimas Islam mengurusi agama lain.
“Harusnya, Menag fokus mencarikan solusi terhadap masalah yang merupakan ranah Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, bukan justru mengarahkan untuk turut mengurusi agama lain, seperti menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan pernikahan agama selain Islam,” jelasnya, Senin (26/2/2024), lansir Antara.
“Padahal, KUA adalah institusi di bawah Dirjen Bimas Islam. Hal yang tidak sejalan dengan aturan tata kelola organisasi Kemenag yang dikeluarkan sendiri oleh Menag,” ujar Hidayat.
Hidayat mengungkapkan, berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 34 Tahun 2016, KUA di tingkat kecamatan merupakan unit pelaksana teknis Kemenag yang bertanggung jawab dan berada di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam.
Ia pun mempertanyakan usulan Yaqut soal KUA mengurusi pencatatan nikah semua agama itu disampaikan juga pada rapat kerja Ditjen Bimas Islam.
“Sangat disayangkan, di forum raker dengan Bimas Islam, yang seharusnya mengutamakan pembahasan peningkatan pelayanan untuk masyarakat Islam, justru digunakan untuk membahas yang bukan lingkup tugas dan tanggung jawab (Ditjen) Bimbingan Masyarakat Islam,” ujar Hidayat.
Dia juga menilai usulan soal pencatatan nikah semua agama di KUA tersebut juga tidak sesuai dengan filosofi sejarah KUA di Indonesia.
Selain itu, tambah Hidayat, hal itu juga tidak selaras dengan aturan yang berlaku, termasuk amanat UUD Negara RI Tahun 1945 dan justru dapat menimbulkan masalah sosial dan psikologis di kalangan non-muslim karena bisa menimbulkan inefisiensi prosedural.
“Apalagi soal menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan nikah bagi semua agama, yang berdampak luas dan melibatkan semua umat beragama, belum pernah dibahas dengan Komisi VIII DPR RI; sementara banyak warga yang kami temui saat reses merasa resah dan menolak rencana program yang disampaikan Menag (Yaqut) tersebut,” katanya.
Selain tidak relevan, lanjut Hidayat, kebijakan itu akan semakin memberatkan KUA, yang sebagian besar mengalami kekurangan sumber daya manusia (SDM) dan tidak memiliki kantor sendiri.
“Lebih maslahat bila menag membatalkan niatnya menjadikan KUA juga sebagai tempat pencatatan nikah semua agama, dan lebih banyak maslahatnya bila menag menguatkan peran dan fungsi dari KUA untuk menjadi bagian dari solusi masalah penyimpangan dari ajaran agama Islam yang terjadi di masyarakat,” pungkasnya.(*)