[PORTAL-ISLAM.ID] Drs. MOEFLICH HASBULLAH, MS, dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, memang dikenal dosen yang sangat memegang teguh prinsip, seorang yang sangat kritis atas kondisi bangsa.
Melalui akun media sosialnya facebook (Moeflich H. Hart), beliau kerap menuliskan pandangan-pandangan kritisnya akan kondisi bangsa terutama di rezim Jokowi.
Pada Pilpres 2019 lalu, beliau kerap menulis di status fbnya tentang Pilpres dan banyak dishare, dan ternyata itu berakibat beliau diberhentikan dari dosen selama 3 tahun, dan baru saja akhirnya pada 3 Januari 2024 kemarin statusnya dosennya dikembalikan. Sebuah ujian yang berat, karena (kata beliau) mata pencahariannya dari dosen.
Namun demikian beliau tidak pernah surut atau berhenti menyuarakan kondisi bangsa.
"Ingin memajukan bangsa tapi memilih pemimpinnya yang tak layak adalah dusta!!"
Itu tulisan di status fb beliau terkait Pilpres 2024.
Beliau mengatakan pemberhentian dari dosen selama 3 tahun banyak hikmahnya....
"Yang paling penting adalah mendapat pelajaran hidup yang orang lain seprofesi mungkin tak merasakannya. Ini yang sangat mahal, melebihi gelar profesor, yang membuat saya malah akhirnya bersyukur pernah mengalami episode hidup yang berkesan untuk pendewasaan diri," kata beliau di tulisan fbnya yang berjudul "KEMBALINYA STATUS DOSEN".
BERIKUT SELENGKAPNYA TULISAN BELIAU...
------------------------------
KEMBALINYA STATUS DOSEN 😊
Setelah mendapat sangsi diberhentikan jadi dosen selama 3 tahun dan dikuat-kuatkan menjalani hukuman gara-gara menulis kritis dalam Pilpres 2019, akhirnya, setelah berjuang mengurusnya, status itu dikembalikan lagi. Tentu saja, banyak pelajaran yang dialami:
Pertama, merasakan episode atmosfir kebebasan akademik yang tidak sehat. Hanya menulis kritis sebagai akademisi yang memang dunianya dan tugasnya, tapi malah mendapat hukuman.
Kedua, sebagai akademisi, menyatakan isi hati dan pikiran melalui kritik akademis adalah sebuah kemerdekaan jiwa tapi tetap beresiko yang harus siap dihadapi terutama ketika situasi politik tidak kondusif dan tidak sehat. Keberanian itu ada resikonya, harus siap menerimanya dengan lapang dada. Kritik juga tak semuanya positif, apalagi berdampak. Tapi bukan juga diam. Nabi SAW bersabda, diam atas keburukan adalah setan bisu, sedangkan berbicara yang buruk, tanpa ilmu, adalah setan yang berbicara. Solusinya adalah bijak. Bijak adalah berbicara yang baik, dengan ilmu dan memperhitungkan pengaruh positif. "Qul khairan awliyasmuth," Bicaralah yang baik atau diam.
Ketiga, sebagai orang biasa dari keluarga guru yang penghasilan hanya dari gaji, jadi pernah merasakan beratnya kesulitan ekonomi (bukan kesulitan rizki, rizki dan ekonomi adalah dua hal yang berbeda). Kehilangan sumber penghasilan adalah masalah ekonomi, dosa-dosa, maksiat dan kualitas hidup yang rendah bisa jadi menghambat rizki.
Keempat, dosen kampus negeri itu ada dua sisi. Satu sisi sebagai akademisi yang harusnya bebas bersuara kritis dan tanggung jawab tapi banyak terhalang oleh status sbg PNS/ASN. Status ini harus dibereskan. Saya pernah melemparkan ide, sebaiknya dosen itu dikeluarkan dari status PNS dan diganti dengan "kontrak profesional" seperti di negara-negara lain. Supaya bisa bersuara mandiri sebagai akademisi yang tidak digaji negara. Bisa terus menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi selama dibutuhkan dan bisa diberhentikan kapan saja bila tak produktif dan tak dibutuhkan lagi. Dengan begitu, dosen bisa kompetitif dalam produktifitas, kualitas dan kemandirian sikap.
Kelima, kawan-kawan dosen bahkan para yunior saya pada jadi "profesor kampus" yang terhormat, saya malah jadi "profesor jalanan" yang dijebak sebagai provokator syar'i dalam kehidupan 😊
Yang paling penting adalah mendapat pelajaran hidup yang orang lain seprofesi mungkin tak merasakannya. Ini yang sangat mahal, melebihi gelar profesor, yang membuat saya malah akhirnya bersyukur pernah mengalami episode hidup yang berkesan untuk pendewasaan diri.
Ala kulli hal, terima kasih atas semua simpati dan do'a sahabat² yang telah bersimpati dan mendo'akan saya selama ini 😊🙏🙏
(Moeflich H. Hart)