PADA SUATU HARI, ada seorang Yahudi yang tinggal di Mesir. Dia memiliki sebuah gubuk yang berada di dekat masjid Fustat. Gubuk itu adalah tempat tinggal dan sumber penghasilannya. Dia menjual sayur-sayuran yang dia tanam di sekitar gubuknya.
Suatu ketika, Amr bin Ash, gubernur Mesir yang diangkat oleh khalifah Umar bin Khattab, berencana untuk memperluas masjid Fustat. Dia ingin membuat masjid itu menjadi masjid raya yang megah dan indah. Namun, untuk melakukannya, dia harus menggusur gubuk milik Yahudi itu.
Amr bin Ash mengirim utusannya untuk menawar gubuk Yahudi itu dengan harga yang tinggi. Namun, Yahudi itu menolak. Dia tidak mau menjual gubuknya, karena dia sudah terlanjur cinta dengan tempat itu. Dia merasa bahwa gubuk itu adalah warisan dari nenek moyangnya.
Utusan Amr bin Ash datang lagi dan lagi, tetapi Yahudi itu tetap tidak mau. Akhirnya, Amr bin Ash marah dan memerintahkan untuk menggusur gubuk itu dengan paksa. Yahudi itu merasa tidak adil dan tertindas. Dia tidak tahu harus berbuat apa.
Dia ingat bahwa di atas Amr bin Ash, masih ada khalifah Umar bin Khattab. Dia pernah mendengar bahwa Umar bin Khattab adalah seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Dia berharap bahwa Umar bin Khattab akan membela haknya. Maka, dia memutuskan untuk pergi ke Madinah untuk mengadu kepada khalifah.
Perjalanan dari Mesir ke Madinah sangat panjang dan melelahkan. Yahudi itu harus melewati padang pasir, gunung, dan lembah. Dia harus menghadapi bahaya dari binatang buas, penyamun, dan musuh-musuh Islam. Dia harus mengorbankan waktu, tenaga, dan harta.
Setelah beberapa hari, Yahudi itu sampai di Madinah. Dia bertanya kepada orang-orang di pasar, di mana dia bisa menemui khalifah Umar bin Khattab. Orang-orang di pasar menunjuk ke arah sebuah rumah sederhana yang terbuat dari batu dan kayu.
Yahudi itu heran. Dia tidak percaya bahwa rumah itu adalah rumah khalifah. Dia membayangkan bahwa khalifah pasti tinggal di istana yang mewah dan megah, seperti Amr bin Ash. Dia ragu-ragu untuk mendekat.
Namun, dia tidak punya pilihan lain. Dia harus menemui khalifah dan menyampaikan keluhannya. Maka, dia mengambil langkah menuju rumah itu. Dia melihat ada seorang laki-laki tua yang sedang tidur di depan pintu. Laki-laki itu mengenakan pakaian yang sederhana dan robek-robek. Di sampingnya, ada sebilah pedang yang tergantung di dinding.
Yahudi itu mengira bahwa laki-laki itu adalah penjaga rumah khalifah. Dia berusaha membangunkannya dengan lembut. "Maaf, pak. Saya ingin bertemu dengan khalifah Umar bin Khattab. Apakah dia ada di dalam?" tanya Yahudi itu.
Laki-laki itu terbangun dan melihat Yahudi itu dengan tatapan tajam. "Apa urusanmu dengan khalifah?" tanya laki-laki itu.
Yahudi itu menjelaskan bahwa dia datang dari Mesir dan ingin mengadukan Amr bin Ash yang telah menggusur gubuknya. Dia berharap bahwa khalifah akan memberikan keadilan kepadanya.
Laki-laki itu tersenyum dan berkata, "Aku adalah khalifah Umar bin Khattab. Ceritakan padaku, apa yang terjadi?"
Yahudi itu terkejut. Dia tidak menyangka bahwa laki-laki yang tidur di depan pintu itu adalah khalifah. Dia merasa malu dan takut. Dia berpikir, apakah khalifah akan marah kepadanya karena telah mengganggu tidurnya?
Namun, dia melihat bahwa khalifah Umar bin Khattab tidak marah. Malah, dia menunjukkan sikap yang ramah dan sabar. Dia mendengarkan cerita Yahudi itu dengan penuh perhatian. Dia tidak membeda-bedakan antara Muslim dan non-Muslim. Dia hanya mengutamakan kebenaran dan keadilan.
Setelah mendengar cerita Yahudi itu, khalifah Umar bin Khattab mengambil sepotong tulang unta yang ada di dekatnya. Dia menggores tulang itu dengan pedangnya, sehingga terbentuk sebuah tanda silang. Lalu, dia memberikan tulang itu kepada Yahudi itu.
"Bawalah tulang ini ke Amr bin Ash. Katakan padanya, ini adalah perintah dari khalifah Umar bin Khattab. Jika dia tidak mengembalikan gubukmu, aku akan memotong lehernya dengan pedangku," kata khalifah Umar bin Khattab.
Yahudi itu menerima tulang itu dengan hormat. Dia berterima kasih kepada khalifah Umar bin Khattab. Dia merasa kagum dan terharu dengan sikap khalifah. Dia berpikir, betapa beruntungnya umat Islam yang memiliki pemimpin seperti ini.
Yahudi itu segera kembali ke Mesir dengan membawa tulang itu. Dia menemui Amr bin Ash dan menyerahkan tulang itu kepadanya. Amr bin Ash melihat tulang itu dan membaca tanda silang yang ada di atasnya. Dia langsung mengerti maksudnya. Dia merasa ketakutan dan menyesal.
Amr bin Ash segera membatalkan rencana penggusuran gubuk Yahudi itu. Dia meminta maaf kepada Yahudi itu dan mengembalikan haknya. Dia juga memberikan ganti rugi dan hadiah kepada Yahudi itu. Dia berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.
Yahudi itu merasa senang dan lega. Dia mendapatkan kembali gubuknya. Dia juga mendapatkan banyak kebaikan dari Amr bin Ash. Dia berpikir, semua ini berkat khalifah Umar bin Khattab. Dia merasa bersyukur dan terpanggil untuk masuk Islam.
Maka, dia pergi ke masjid Fustat dan mengucapkan syahadat di hadapan Amr bin Ash dan para Muslim. Dia menjadi seorang Muslim yang taat dan saleh. Dia juga menjadi sahabat dan penolong Amr bin Ash. Dia menyebarkan Islam ke seluruh Mesir dengan semangat dan keikhlasan.
Demikianlah kisah Umar bin Khattab yang memberikan sepotong tulang ke Amr bin Ash. Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya keadilan, kebijaksanaan, dan kerendahan hati dalam kepemimpinan. Kisah ini juga menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
Ketika Islam berkuasa dan memerintah, maka dunia akan dipenuhi keadilan dan rahmat bagi semua makhluk.(*)