Bagaimana Jokowi SUKSES memelihara KEMISKINAN demi karir anak?
Jokowi punya andil besar dalam memenangkan Prabowo-Gibran (anaknya) di Pilpres 2024. Andai Jokowi tidak ada, maka Prabowo hanya akan jadi anak macan yang kehujanan, MENGGIGIL.
Jokowi memang tak terlibat dalam struktur TKN Prabowo Gibran, tetapi Jokowi bersama menteri2nya (Bahlil, Erick Thohir, Airlangga, Zulhas, Luhut, dll) sangat massif membantu Prabowo sesuai peran masing2, termasuk para kepala daerah & eks yang kata sebagian orang "tersandera" oleh kasus korupsi.
Khusus Jokowi, tingginya angka kepercayaan publik, pembangunan infrastruktur dan image "merakyat" jadi senjata utama yang konsisten dipelihara sejak dulu.
Angka kepercayaan ini disumbang oleh kelompok ekonomi Menengah kebawah yang menjadi sasaran Bantuan Sosial (Bansos) dan BLT, walaupun tidak semua tepat sasaran.
Khusus kelompok miskin, ada lebih dari 25,9 juta warga Miskin di Indonesia per tajun 2023. Jumlah ini hanya turun 260.000 dari 28,59 juta sejak tahun 2015 periode pertama Jokowi menjabat.
Sebetulnya, tahun 2019 angka kemiskiman sudah berkurang hingga 24,79 juta, tetapi naik lagi karena Pandemi Covid-19 ke 27,55 juta. Tetapi dalam kondisi ekonomi yang "Rebound", mestinya angka kemiskinan juga reboud, bukan malah bertahan di sekitaran 26 juta.
Ini artinya, ada kebijakan yang berbeda antara periode 1 Jokowi dan periode 2 Jokowi. Janji "pensiun tanpa beban" setelah periode 2 tak lagi ditepati sejak 2021 dengan permintaan jabatan 3 Periode atau perpanjangan masa jabatan 2 tahun lagi, beruntung PDIP partai pengusungnya, satu-satunya partai pendukung yang menolak usulan ini.
Bermula dari ambisi 3 periode itu, politisasi bansos mulai dilancarkan. Bansos yang pada periode 1 kurang dianggap produktif, kini mulai jor joran dibagikan sendiri oleh Jokowi. Saat Pandemi masih bisa dimaklumi, karena rakyat memang dalam situasi sulit.
Pasca pandemi, bukannya berkurang nyatanya politik bansos makin massif, belum lagi tuntutan aneh-aneh dari aparat desa, mulai dari perpanjangan masa jabatan hingga gaji dan dana desa.
Mengapa di Desa? Karena desa adalah sasaran bansos terbaik agar budidaya suara politik untuk 2024 dan seterusnya tetap terjaga, terutama dikandang Banteng seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, juga Sumatera Utara.
Sebanyak 12% penduduk desa tidak tamat SD, hanya 31,13% yang tamat SD, hanya 23,39% yang tamat SMP dan hanya 22,14% penduduk desa yang tamat SMA.
Mayoritas dari mereka adalah buruh tani dan pekerja kasar yang diupah harian juga kurang memiliki hunian yang layak sehingga cocok menerima bansos dan BLT.
25,9 juta jiwa penduduk miskin ini adalah angka MEWAH bagi politisi, hampir setara dengan DPT Jawa Tengah. Ini mesti dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menjaga kesinambungan kekuasaan.
Kemiskinan ini harus dijaga, kalau bisa dilestarikan dengan pembagian bansos secara rutin agar kedepan mereka memiliki beban moral untuk memilih "Jokowi man" lagi.
Mereka tak akan dibiarkan kaya, tak diberi kesempatan mendapat akses pendidikan yang baik untuk mengubah nasibnya, maka banyak yang tergiur dengan program MAKAN GRATIS. Jokowi dan Prabowo paham, kelompok rentan hanya memikirkan hari ini makan apa. Upah hari ini hanya habis untuk membeli beras dan lauk seadanya tanpa kepastian besok bisa makan atau tidak.
Kemiskinan ini dijaga dan dilestarikan dengan bantuan-bantuan yang membuat kelompok miskin makin ketergantungan. Mereka makin MALAS, makin tidak produktif, makin konsumtif dan tak berpikir soal masa depan.
Pendidikan dan akses lapangan kerja sebagai solusi memutus rantai kemiskinan tak lagi di didalam top of mind pemerintah dan kelompok miskin.
Parahnya, angka ini akan semakin bertambah karena secara tidak sadar ketergantungan pada BLT, Bansos dan makan gratis akan menularkan KEMALASAN kepada orang lain terutama keluarga yang pada usia produktif.
Parahnya, angka ini akan semakin bertambah karena secara tidak sadar ketergantungan pada BLT, Bansos dan makan gratis akan menularkan kemalasan kepada orang lain terutama keluarga yang pada usia produktif.
Kemiskinan bertambah, kesenjangan makin tinggi dan pengangguran makin meningkat. Jahat bukan? Ya sangat Jahat, itu bagi kita yang memandang pendidikan sebagai solusi mengatasi kemiskinan.
Tapi bagi yang memandang makan siang gratis sebagai solusi mengatasi kemiskinan, ini dipandang sebagai amanah mulia sekaligus dibelakang, mereka sadar betul bahwa ini adalah usaha memelihara kemiskinan agar orang2 miskin ketergantungan dan akan jadi alat setiap pemilu berlangsung.
SADIS, Jahat dan sungguh cara yang HINA. Bagi orang miskin, Jokowi dan Prabowo adalah pahlawan dan malaikat dengan BLT, Bansos dan makan siangnya.
Bagi Jokowi dan Prabowo, orang miskin bukan manusia. Mereka hanya BINATANG yang dipelihara dan dikembangbiakkan agar bertahan dalam kondisi miskin demi meraup suara setiap musim pemilu.
Bagi kita yang berakal sehat, ini cara yang SADIS dan sungguh memprihatinkan. Ingin memberi kesadaran pada kelompok miskin, tapi mereka lebih mengutamakan urusan perut hari ini.
Pragmatisme dalam demokrasi memaksa siapapun harus berbuat diluar nalar, bahkan dengan cara yang SADIS. Karena demokrasi adalah soal menang atau kalah, bukan soal benar atau salah.
Yang jelas, semuanya diawali dengan NAFSU KEKUASAAN tak terbatas dan kehilangan kendali atas diri sendiri. Saling sandera antara Jokowi dan Prabowo membuat aturan, norma, etika dan nilai apapun dilabrak.
Ya, seperti kata Budie Arie, "kalau kita kalah bisa masuk penjara semua ini."
Bisa jadi, trend memelihara kemiskinan akan jadi aktivitas para politisi karena mereka yang berpendidikan tidak akan memilih pelanggar HAM dan pelanggar Konstitusi sebagai pemimpinnya.
Apalagi, modalnya pakai APBN dan dibantu aparat pula. Tidak perlu pakai uang pribadi, cukup bermain cantik. Bila perlu, untuk meningkatkan anggaran pemeliharaan orang miskin, pajak dinaikkan, subsidi BBM dihapus dan utang diperbesar.
Semua hanya akan jadi bom waktu pada akhirnya. Suatu saat Jokowi man akan berakhir, tetapi dia meninggalkan KESENGSARAAN yang menganga dimana rakyat akan menanggung perlakuan SADIS ini.
Indonesia Emas 2045 dengan usia produktifnya yang sedang maksimal justru minimim hasilnya. Pembangunan hanya fokus pada infrastruktur, tapi manusianya dimanjakan dengan bantuan tunai, makan gratis dan jadi PENGEMIS.
(Jhon Sitorus, 19 Februari 2024)