PRABOWO GIBRAN: COMMON ENEMY

PRABOWO GIBRAN: COMMON ENEMY

Oleh : Ahmad Khozinudin

Amsyong! Mungkin, ungkapan China ini cocok untuk mendeskripsikan nasib Prabowo usai debat Pilpres ketiga. Materi pertahanan yang menjadi makanannya sehari-hari, justru menjadi racun yang sangat mematikan.

Prabowo, tidak bisa membanggakan legacy kinerjanya di Kemenhan untuk menunjukan keunggulan. Prabowo, juga tidak bisa menjual latar militernya, untuk mendelegitimasi otoritas lawan debat.

Malah sebaliknya. Berbagai kebijakan Kemenhan, justru menjadi sasaran empuk bagi lawan debat. Dari import pesawat rongsok, program singkong estate,  kumulasi anggaran Kemenhan selama 5 tahun, hingga soal dia yang menjadi kaum feodal dengan tanah ratusan ribu hektar, sementara pada saat yang sama masih banyak prajurit TNI yang ngenger, belum punya rumah dinas.

Di Medsos, seluruh penulis media sosial mengeroyok Prabowo. Nama-nama penulis beken seperti Asyari Usman, Rizal Fadillah, Tony Rosyid, semuanya koor menggebuk Prabowo. Semua memiliki kesimpulan yang sama: Prabowo babak belur di debat Pilpres ketiga ini.

Prabowo, telah bermetamorfosa dari tokoh harapan menjadi musuh bersama yang harus dikalahkan. Problemnya bukan ada pada Prabowo, tetapi karena berpasangan dengan Gibran dan didukung Jokowi. Faktor inilah, yang menjadikan Prabowo sebagai 'Common Enemy'.

Kalau Prabowo maju sendiri, berdikari, tidak berlindung dibawah bayang bayang Jokowi, mungkin masih banyak yang iba. Ikut mendukung, agar cita-cita Prabowo menjadi Presiden terwujud, setelah gagal pada dua Pilpres sebelumnya.

Tetapi karena faktor Jokowi, semua pendukung Prabowo pada Pilpres 2019 lalu mayoritasnya hengkang. Terutama dari elemen Islam. Karena faktor Jokowi, kelompok pendukung Ganjar dan PDIP, barisan wong cilik yang sakit hati oleh pengkhianatan petugas PDIP, koor melawan Prabowo.

Jadi, Jokowi memang bisa menjadi faktor pendukung dengan kekuasaanya. Bisa dimanfaatkan untuk mendukung pemenangan dengan otoritasnya.

Tetapi dihadapan pemilih, dihadapan rakyat, dihadapan elemen Islam, dihadapan barisan wong cilik, Jokowi menjadi common enemy. Perlawanan terhadap Jokowi, diwujudkan dengan melawan Prabowo. Kekalahan Prabowo, adalah tanda berakhirnya dinasti politik Jokowi.

Jadi, saat Prabowo dikeroyok Anies dan Ganjar, sejatinya Prabowo sedang dikeroyok rakyat, dikeroyok elemen Islam, dikeroyok kelompok wong cilik yang dulu pernah melahirkan dan membesarkan Jokowi. Saat ekspresi wajah Prabowo memelas dihujani pertanyaan tajam Ganjar dan Anies, ekspresi Netizen di sosial media malah puas dan bahagia. Bukan bersedih, prihatin, apalagi empati. Inilah, wujud konfirmasi Prabowo telah menjadi Common Enemy.

(*)

Baca juga :