PERAN ABADI RIZAL RAMLI
Sulit menjelaskan predikat Rizal Ramli dalam satu kata. Dia adalah ekonom, dosen, penulis, sekaligus mantan menteri.
Namun gambaran kehidupan seseorang bisa terbaca dari para pelayatnya. Rizal Ramli, yang meninggal pada Selasa malam, 2 Januari 2024, banyak didatangi pejabat tinggi. Dari Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan; Menteri Keuangan Sri Mulyani; Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko; dan calon presiden, Prabowo Subianto.
Tapi mayoritas pelayat di rumah duka di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, kemarin siang tak lain tak bukan adalah mahasiswa dan aktivis. Sebagian datang dari Bandung dan Garut. Mereka mengaku sebagai murid Rizal dalam rangkaian diskusi—Rizal lebih suka menyebutnya "pengajian politik"—di rumah di Jalan Bangka IX tersebut.
Rizal Ramli, 69 tahun, sejatinya tak ingin menjadi ekonom. Dia bercita-cita menjadi fisikawan seperti idolanya, Albert Einstein. Karena itu, dia masuk jurusan fisika di Institut Teknologi Bandung. Namun masalah politik dan ekonomi justru lebih membetot perhatiannya. Saat kuliah, dia dipenjara karena menulis buku putih yang menentang terpilihnya kembali Presiden Soeharto, untuk periode ketiga, pada 1978.
Selanjutnya ekonomi menjadi jalan hidup Rizal Ramli, termasuk dengan meraih gelar doktor ekonomi di Boston University, Amerika Serikat, pada 1990. Bersama ekonom lain, seperti Laksamana Sukardi dan Arif Arryman, dia mendirikan Econit, lembaga think tank ekonomi yang kerap memprotes kebijakan Orde Baru. Program mobil nasional, pupuk urea, sampai Freeport tak lepas dari kritikannya.
Di era reformasi, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Rizal masuk lingkaran kekuasaan sebagai Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), lalu menjadi Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri. Saat itu dia dianggap sebagai satu dari empat pejabat paling berpengaruh di samping Gus Dur; Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri; serta Menteri Koordinator Sosial, Politik, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono. Catatan suksesnya waktu itu antara lain meningkatkan produk domestik bruto dari minus 1,7 persen menjadi 4,2 persen dan menurunkan utang luar negeri hingga US$ 3,2 miliar per tahun.
Pergantian pucuk pemerintahan dari Gus Dur ke Megawati pada 2001 membuat Rizal Ramli tak lagi menjadi menteri. Dia diberi jabatan sebagai komisaris di sejumlah badan usaha milik negara, antara lain Bank BNI dan Semen Gresik. Posisi nyaman itu tak mengendurkan semangatnya sebagai aktivis yang rajin mengkritik kebijakan pemerintah.
Presiden Joko Widodo menyebut Rizal Ramli sebagai petarung dan mengajaknya masuk kembali ke pemerintahan pada 2015. Kali ini sebagai Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Manusia. Keputusan ini mengejutkan karena Rizal berulang kali mengecam kebijakan pemerintahan Jokowi. Dari rencana pembelian pesawat berbadan besar Airbus A350 oleh Garuda Indonesia, proyek listrik 350 ribu megawatt, sampai pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung.
Silang pendapat dengan sesama menteri, juga Wakil Presiden Jusuf Kalla, dia sebut sebagai jurus "Rajawali Ngepret". "Rajawali biasa terbang di dunia bebas. Dia bawa angin dari luar ke dalam, lalu dia kepret. Itu untuk shock therapy," kata Rizal kepada Tempo, seperti ditulis majalah Tempo edisi Senin, 24 Agustus 2015.
Di pemerintahan, Rizal ngepret ke sana-sini. Tujuannya hampir sama: menghemat uang negara. Misalnya saat menentang rencana Pertamina membangun gudang penyimpanan minyak di seluruh Indonesia. Proyek senilai Rp 34,4 triliun itu didasarkan pada permintaan Jokowi yang ingin daya tampung persediaan minyak naik dari 19 menjadi 30 hari. Rizal menyampaikan ketentuan yang menyatakan kewajiban membangun tempat penyimpanan adalah pemasok minyak, bukan Pertamina.
Banyak dari kritiknya yang terbukti benar. Sebut saja penolakan proyek pembangkit 35 ribu megawatt, yang membuatnya berseberangan dengan Jusuf Kalla, yang kini terbukti menjadi penyebab oversupply listrik Indonesia.
Kepretan Rizal membuat kegaduhan di kabinet. Walhasil, mudah ditebak, masa jabatannya cuma seumur jagung. Dia dicopot dari posisi Menteri Koordinator Maritim pada 27 Juli 2016, kurang dari setahun sejak dilantik.
Selepas dari jabatan itu, keinginan Rizal sederhana: mengkhatamkan tumpukan buku yang belum tersentuh di kamarnya. Namun cita-cita itu tak tercapai karena rumahnya tak pernah sepi dari tamu. Dia biasa menerima tamu setelah sarapan hingga siang, lalu setelah makan siang sampai sekitar pukul 15.00, dan terakhir saat malam. Tamunya dari pelaku usaha, mantan pejabat, sampai kalangan militer. Tapi yang paling sering adalah mahasiswa dan aktivis. "Beliau merasa harus selalu bekerja agar sehat," kata Yosef Sampurna Nggarang, juru bicara keluarga.
Meski terus beraktivitas, Rizal Ramli tetap tak kuasa melawan penyakit. Sakit usus yang membuatnya naik meja operasi pada 2008 kerap kambuh kembali. Begitu juga diabetes yang ikut mendorong kerusakan pada pankreasnya yang diserang kanker. Dua bulan terakhir, dia dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, dengan diagnosis kanker pankreas stadium 4. Pada Selasa petang, 2 Januari, dia merasa lebih bugar seusai terapi radiologi dan siap untuk pulang. Namun, beberapa saat kemudian, kondisinya drop dan meninggal pada pukul 19.30. Rizal Ramli dikebumikan hari ini, Kamis, 4 Januari, di Tempat Pemakaman Umum Jeruk Purut, Jakarta Selatan.
(REZA MAULANA)
-Koran Tempo Kamis, 4 Januari 2024-