Mengapa Israel Menolak Solusi Dua Negara
SELAMA konferensi pers yang oleh The Times of Israel disebut “agresif” pada Kamis malam, 18 Januari 2024, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tampil dengan wajah keras dan kata-kata tegas. Dia menunjukkan sikapnya yang tak goyah mengenai nasib Jalur Gaza setelah perang Hamas-Israel nanti berakhir, topik yang kini sedang dirundingkan banyak pihak, termasuk Amerika Serikat, sekutu Israel.
Netanyahu menyatakan, untuk kesekian kalinya, bahwa dia menolak kemungkinan pembentukan negara Palestina nanti. Dia juga bersumpah menentang keinginan Amerika Serikat mengenai rencana tersebut. “Dalam pengaturan apa pun di masa depan... Israel memerlukan kendali keamanan di seluruh wilayah barat Yordania,” kata pemimpin Partai Likud itu. “Ini bertentangan dengan gagasan kedaulatan. Apa yang bisa Anda lakukan? Perdana Menteri harus mampu mengatakan tidak kepada teman-teman kita.”
Esoknya, Jumat pagi, 19 Januari 2024, Presiden Amerika Serikat Joe Biden bercakap-cakap dengan Netanyahu melalui sambungan telepon. Netanyahu menolak gagasan solusi dua negara yang disokong Biden tapi Biden menekankan ada sejumlah bentuk dari solusi itu. Solusi dua negara adalah gagasan mengenai berdirinya Israel dan Palestina sebagai dua negara yang bertetangga dan dinilai menjadi solusi terbaik untuk menyelesaikan konflik kedua pihak.
“Ada sejumlah negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang tidak memiliki militer sendiri, sejumlah negara bagian memiliki keterbatasan, jadi saya pikir ada cara agar hal ini bisa berhasil,” ucap Biden kepada wartawan setelah perbincangannya tersebut. Biden tidak menjelaskan lebih rinci solusi dua negara yang ia maksudkan. “Saya akan memberi tahu Anda ketika saya berhasil mendapatkan persetujuan dia (Netanyahu),” ujar Biden seperti dikutip CNN.
Biden dan Netanyahu telah berselisih secara terbuka mengenai masa depan Gaza. Biden dan sejumlah negara sekutu Amerika mendorong solusi dua negara dengan pemerintahan di Gaza akan kembali diurus oleh Otoritas Palestina pimpinan Mahmud Abbas. Namun Israel punya pandangan yang berbeda.
Dalam rapat kabinet perang Israel pada 4 Januari 2024, Menteri Pertahanan Yoav Gallant memaparkan usulan bagaimana penanganan Gaza pascaperang. Dalam usulan itu, Gaza akan diperintah “entitas Palestina”, yang bukan Otoritas Palestina dan pejabatnya tidak terafiliasi dengan Hamas. Namun masalah keamanan akan tetap ditangani Pasukan Pertahanan Israel (IDF).
Ibnu Burdah, guru besar kajian Timur Tengah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, menyatakan banyak faktor yang akan menentukan masa depan Gaza, juga Palestina. Salah satu faktor adalah bagaimana perang ini nanti berakhir, apakah dengan perjanjian gencatan senjata atau penyelesaian militer penuh. “Misalnya perang harus berhenti dan tak ada aktivitas militer setelah perjanjian itu, artinya status quo,” katanya pada 19 Januari 2024.
Jika perang ini diselesaikan secara militer penuh dan tanpa negosiasi gencatan senjata, “Katakanlah Hamas betul-betul habis, Israel nanti akan sangat dominan dalam mengatur Gaza,” Ibnu menambahkan. Namun, “Bila baik Otoritas Palestina, Fatah, maupun Hamas tidak ada dalam pemerintahan Gaza nanti, itu juga akan jadi persoalan. Kalau bukan mereka, lantas siapa?”
Menurut Ibnu, masyarakat Palestina sekarang masih mendukung Otoritas Palestina yang dipimpin Abbas dari partai Fatah. Tapi, “Yang digadang-gadang Israel itu terjadinya suksesi di dalam Otoritas Israel,” ujarnya. Dalam hal ini, Israel tampaknya mendukung Mohammad Yusuf Dahlan, politikus Fatah kontroversial yang turut mendirikan organisasi pemuda Elang Fatah di Gaza pada 1981. Pada mulanya Dahlan menyokong kemerdekaan negerinya, tapi belakangan dia berbalik arah dan memihak Israel.
“Orang seperti Mohammad Dahlan itu yang paling diinginkan Israel, tapi dia orang yang sama sekali tidak populer dan bahkan dianggap musuh oleh rakyat Palestina. Stasiun televisi yang mengundang dia saja sudah dianggap sebagai pengkhianat,” tutur Ibnu.
Yang dimaksud Israel dengan entitas Palestina itu, kata Ibnu, adalah yang bisa berkolaborasi dengan Israel dalam konteks keamanan dan proses perdamaian. Tapi siapa yang dimaksud masih belum jelas.
Rakyat Israel sekarang, tutur Ibnu, pada umumnya tak lagi memandang solusi dua negara sebagai solusi. Dulu memang ada Partai Buruh yang meletakkan perdamaian sebagai kepentingan utama Israel. Sekarang dukungan terhadap Partai Buruh hampir tidak didengar. “Yang sangat dipercaya sekarang itu adalah ideologi Tembok Besi Ze'ev Jabotinsky yang menjadi akidah masyarakat Israel dalam melihat Palestina sekarang,” ucapnya.
Jabotinsky, pendiri partai Revisionis Zionis, menulis sebuah esai berjudul “Iron Wall” di media Rusia pada 1923. Dia berpendapat bahwa orang-orang Arab Palestina tidak akan menyetujui adanya mayoritas Yahudi di Palestina sehingga pilihannya adalah “kolonisasi Zionis harus dihentikan atau dilanjutkan tanpa memandang penduduk pribumi”. Kolonisasi itu dikembangkan dengan membangun tembok besi yang tidak dapat ditembus oleh penduduk asli. Caranya adalah mendirikan negara Yahudi dan mendorong orang-orang Arab “menyingkirkan para pemimpin ekstremis mereka” dan menyerahkan kepemimpinan kepada kelompok moderat yang bersedia bekerja sama dengan Israel. “Termasuk Netanyahu itu sangat `iron wall´ dalam memandang Palestina,” kata Ibnu.
Netanyahu sekarang menghadapi banyak tekanan, baik dari dalam maupun luar negeri. Bukan hanya Amerika Serikat, negara Timur Tengah seperti Mesir, Arab Saudi, dan Yordania juga mendorong solusi dua negara. Tapi Netanyahu memilih jalan besi. Dia telah menegaskan berkali-kali akan menghancurkan Hamas dan mengembalikan sandera. “Itu tujuan yang tak bisa ditawar-tawar,” ujar Ibnu.
Namun, hingga 100 hari lebih sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023, tujuan itu belum juga tercapai. Sedangkan kas Negeri Yahudi mulai kering. Surat kabar Israel, Yedioth Ahronoth, melaporkan pada 7 Januari 2024 bahwa perang Gaza telah menghabiskan dana sebesar 217 miliar shekel atau sekitar Rp 912 triliun. Ini termasuk anggaran perang itu sendiri dan berbagai bentuk bantuan keuangan untuk setiap warga sipil yang pendapatannya berkurang karena konflik.
Anggaran negara Israel saat ini, menurut koran itu, sedang menghadapi defisit sekitar Rp 468 miliar. Kementerian Keuangan telah merekomendasikan Netanyahu menutup 10 kementerian untuk menutup anggaran perang ini.
Di tengah kondisi demikian, Netanyahu tetap jalan terus. Bahkan, menurut Ibnu, Netanyahu memang berusaha mengulur perang Gaza selama mungkin. “Dia menunda-nunda itu. Selain menunggu dukungan dari presiden baru Amerika jika terjadi suksesi, juga urusan pribadinya,” tuturnya.
Amerika akan menggelar pemilihan presiden pada November mendatang. Jika presiden yang terpilih seperti Donald Trump, yang mendukung penuh Israel, itu menjadi angin segar bagi Netanyahu.
Selain itu, Netanyahu berkepentingan terus berkuasa agar tak diadili dalam kasus-kasus pidananya.
“Ini buah simalakama. Kalau perang usai, tuntutan internasional ada, tuntutan di dalam negeri ada. Dia sudah jadi tersangka kasus korupsi. Kalau tidak jadi perdana menteri, kan imunitasnya otomatis hilang,” kata Ibnu.
(Sumber: Majalah TEMPO, Minggu, 21 Januari 2024)