"Adapun boikot adalah pertempuran yang padanya tidak ada gencatan senjata." |
Boikot Jadi Efektif
Konflik Israel-Hamas belum berakhir. Balasan Israel yang direspons dengan tindakan boikot oleh masyarakat internasional terhadap mereka yang dinilai mendukung Israel ternyata efektif.
Perubahan cara pandang publik internasional dan kehadiran media sosial menjadikan kelompok penekan sangat efektif menyuarakan pendapat dan membuat pengaruh. Pebisnis perlu mengubah orientasi mereka dalam memandang masalah-masalah yang berkait dengan hubungan internasional.
Sering aksi boikot kerap menjadi jargon semata dan berakhir tanpa hasil yang riil. Namun, aksi boikot terhadap sejumlah produk yang dituduh mempunyai afiliasi atau mendukung Israel dalam konflik dengan Hamas yang terbaru ternyata efektif.
Setidaknya Starbucks dan McDonald’s mengakui terdampak gerakan itu di sejumlah negara.
Secara global, gerakan seperti ini diinisiasi oleh Boikot Divestasi dan Sanksi (BDS) yang didirikan pada 9 Juli 2005. Gerakan ini merupakan upaya terakhir untuk memperjuangkan hak-hak Palestina dan merupakan gerakan non-kekerasan.
Banyak pihak kemudian mempertanyakan sejauh mana gerakan boikot efektif untuk menekan Israel dan mereka yang dikesankan mendukung negara tersebut.
Gerakan seperti ini telah lama muncul, tetapi mengapa baru efektif belakangan ini?
Mengacu pada data Armed Conflict Location & Events Data Project (ACLED), sebuah organisasi nonpemerintah yang mengkhususkan diri dalam pengumpulan data konflik, sejak 7 Oktober hingga 24 November 2023, setidaknya terdapat 7.283 protes pro-Palestina yang terjadi di lebih dari 118 negara dan wilayah.
Gerakan seperti ini menjadi efektif karena akses digital yang semakin merata di berbagai belahan dunia hingga memudahkan orang untuk melihat apa yang terjadi di belahan negara lain dan memunculkan perasaan untuk mendukung atau menentang apa yang terjadi. Sebuah perubahan yang revolusioner dibandingkan beberapa tahun lalu.
Ambil contoh ketika akun media sosial McDonald’s Israel mengunggah foto dan video ketika mereka membagi-bagi makanan kepada prajurit Israel. Pembagian makanan ini dilakukan saat pasukan militer Israel, IDF, tengah membombardir Gaza.
Pada saat yang sama di tempat yang tidak jauh dari mereka, warga Gaza mengalami kesulitan untuk mendapatkan makanan dan air serta aneka kebutuhan lain. Berbagai lembaga internasional menyebut, warga Gaza kelaparan akibat blokade Israel.
Tentu saja video ini (McD cabang Israel membagikan makanan gratis untuk tentara Israel), yang belum tentu mewakili sikap resmi kantor pusat perusahaan tersebut, memunculkan amarah publik internasional.
Video semacam ini mudah sekali tersebar dan memunculkan perasaan solider hingga di daerah terpencil. Apalagi ketika simbol-simbol produk yang terkait dengan peristiwa itu makin mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, mereka makin mudah membuat ekspresi perlawanan.
Kehadiran lembaga semacam BDS dan ACLED setidaknya makin memperkuat dan makin meyakinkan publik internasional soal langkah yang dipilih. Strategi dan data soal boikot serta aksi lainnya di berbagai belahan dunia mudah didapat publik. Gema gerakan boikot makin kuat. Aksi nonkekerasan ini makin dominan di sejumlah negara. Tidak mengherankan pula ketika gerakan yang menentang aksi Israel di berbagai kampus di Amerika Serikat yang dibungkam kemudian mendapatkan perlawanan juga.
Sesuatu yang tidak diduga sebelumnya adalah aksi Israel yang selama ini mungkin tidak mendapatkan perlawanan masif kini membuat negara tersebut dan juga pendukungnya menjadi mati langkah. Apa pun yang diambil selalu menempatkan mereka pada posisi yang tidak mudah. Serangan darat yang lebih gencar mengakibatkan kemarahan publik yang meningkat. AS yang selalu berada di sisi yang sama dengan Israel juga tidak mudah membuat langkah dengan krisis tersebut.
Bagi korporasi, situasi seperti ini mengharuskan mereka makin memahami masalah-masalah hubungan internasional. Masalah sebelumnya, yaitu konflik Rusia-Ukraina, dan yang terbaru di kawasan Timur Tengah yang memanas setelah AS dan Inggris menyerang, perlu dipahami pemimpin perusahaan secara lebih detail karena sangat berpengaruh pada kepentingan perusahaan.
Di sisi lain, perkembangan media sosial dan teknologi digital lainnya bisa memengaruhi debat dan isu politik internasional. Perubahan respons publik internasional sangat mudah terjadi karena kelindan antara peristiwa dan media yang digunakan. Kemampuan perusahaan untuk membuat penilaian awal tentang sebuah peristiwa dan sikap yang harus diambil sangat menentukan keberhasilan perusahaan dalam mengarungi berbagai masalah politik internasional.
Beberapa perusahaan kemudian membuat jabatan baru, yaitu chief international officer. Beberapa deskripsi tentang orang yang memegang jabatan ini adalah mereka yang paham pasar internasional, individu yang berpengalaman, berpengetahuan luas, dan sensitif secara budaya internasional. Mereka memiliki tanggung jawab utama terkait dengan tugas strategis dalam menjalankan misi penyelenggaraan internasionalisasi kepentingan perusahaan. Jika jabatan ini sulit diadakan, perusahaan perlu makin peduli dengan masalah perubahan dalam isu hubungan internasional dan dampaknya bagi bisnis.
(Sumber: KOMPAS)