Oleh: Fitriyan Zamzami
Hadits yang satu ini sukar lepas dari ingatan saya. Saya lupa ada khutbah apa, tapi Abah saya (semoga Allah merahmatinya) menuturkan secara singkat ini hadits selepas kami pulang shalat Jumat dulu.
Alkisah, umat Islam pada masa Rasulullah sudah di Madinah terlibat perang dengan suku Juhainah di Huraqah. Pasukan Muslim kala itu melakukan serangan tiba-tiba. Di ujung kemenangan, Usamah bin Zaid yang meriwayatkan ini hadits, bersama seorang dari golongan Anshar memojokkan salah seorang musuh.
Dalam keadaan terpojok, sang musuh mengucapkan syahadat “laa ilaha illallah”. Sang Anshar kemudian menahan diri dari membunuhnya karena dia menyatakan masuk Islam, namun Usamah tak ambil pusing dan tetap menusukkan tombaknya.
Di Madinah, kejadian itu di dengar Rasulullah ﷺ. Usamah kemudian merekam tanggapan Rasulullah:
“Hai Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan 'laa ilaha illallah'?” Saya berkata, "Wahai Rasulullah, sebenarnya orang itu hanya ingin mencari perlindungan diri saja, sedangkan hatinya tidak meyakini hal itu." Beliau bersabda lagi, "Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan laa ilaha illallah?" Ucapan itu terus menerus diulang oleh Nabi shallallahualaihi wa sallam hingga saya mengharapkan bahwa saya belum masuk Islam sebelum hari itu.
Redaksional lainnya begini:
“‘Bukankah ia telah mengucapkan laa ilaha illallah, mengapa engkau membunuhnya?’ Saya menjawab, ‘Wahai Rasulullah, ia mengucapkan itu semata-mata karena takut dari senjata.’ Beliau bersabda, ‘Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut saja atau tidak?’ Beliau mengulang-ngulang ucapan tersebut hingga aku berharap seandainya aku masuk Islam hari itu saja.”
Dalam kedua redaksional, saya kira intinya sama. Rasulullah melarang orang-orang mengira-ngira keimanan seseorang. Kedua, bahwa tindakan itu sebegitu dikecam sampai-sampai Usamah berandai-andai bisa mengulang masuk Islam supaya dosanya itu diampuni.
***
Saya ingat hadits ini sehubungan kampanye masif dehumanisasi Muslim Rohingya belakangan. Entah siapa yang memulai, banyak orang di medsos agaknya mudah betul memercayai dan menggaungkan bahwa mereka bukan Muslim sebenarnya. “Ada yang ndak hafal rukun Islam!” salah satu propaganda itu. “Mereka juga tak paham shalat!” kata yang lain.
Nelangsa macam apa lagi ini? Bayangkan, orang-orang Rohingya itu ditindas, diusir, mengalami pembersihan etnis, hidup dalam kondisi paling buruk yang bisa ditahan manusia; sebagian justru karena mereka Muslim. Tiba terdampar di sini malah dicap bukan Muslim pulak sama orang-orang yang seharusnya saudara-saudari mereka.
Jika tak hafal rukun Islam dipakai jadi dasar bilang orang bukan Muslim, barangkali Indonesia sebaiknya melepaskan status sebagai negara berpopulasi Muslim terbanyak. Jika ada beberapa yang tak paham shalat kemudian seantero puak dibilang bukan Muslim semua, cilaka duablas juga kita orang…
Dalam konteks yang lebih luas, begitu menyedihkan betapa banyak orang-orang Islam di Indonesia lekas terhasut propaganda kebencian dan melupakan bahwa Nabi terkasih mereka adalah imigran.
Jangan-jangan, jika kita yang dulu tinggal di Madinah, kita masuk golongan munafikin yang menolak para pengungsi dari Makkah. “Ah, orang-orang dari Makkah itu kan pura-pura tertindas saja supaya bisa berdagang di sini…”
Naudzubillahi min dzalik…