HANYA DUA PARTAI

DUA PARTAI

Oleh: Joko Handipaningrat

Ada lebih dari 1500 Partai Politik di India. Tapi yang dominan mengisi pikiran publik, bertahun-tahun, hanya dua: Partai Bharatya Janata dan Partai Kongres milik klan Gandhi. Ingat... hanya dua partai!

Ada 197 negara di dunia. Namun yang "berkelahi" dalam memori publik hanya AS dan Sovyet... sekarang AS dan China. Sekali lagi... hanya dua!

Ada ribuan petinju kelas berat. Namun selalu hanya Mohammad Ali dan Mike Tyson berulang disebut.

Ada puluhan merek sepeda motor. Tapi yang mendominasi pikiran orang Indonesia hanya dua: Honda dan Yamaha. Kawasaki? Ah... itu hanya merek ecek-ecek. Ingat... hanya dua! Silakan menyebut merek saus tomat, rokok, hotel, bumbu masak, airline, resto, fesyen, ....

Semua itu Sunatullah. Begitulah otak manusia bekerja. Para Creative Director yang piawai, pasti mahfum fakta ini. Kapasitas memori manusia... hanya mampu menampung 7 (tujuh) merek. Dan dari 7 itu hanya akan ada 2 yang "sibuk berkelahi" dalam alam pikiran konsumen. 

Dua merek ini akan disebut secara instinktif jika mereka ditanya. Mengapa? Karena posisinya yang berada di top mind, teratas dalam "laci pikiran" orang. Otomatis... hanya dua nama merek parpol... yang akan menyeruak menyembul dalam pikiran pemilih ketika berada di dalam bilik suara Pemilu... tatkala jemari orang sudah menggenggam paku siap mencoblos. 

Uraian saya di atas hanyalah analisa kecil dari salah satu "Hukum Kekal Branding" ("The Immutable Laws of Branding")... dimana hukum kedelapannya mengekalkan fakta tentang "dualitas"... bahwa selalu dan selalu hanya akan ada dua merek yang bersaing! 

Gak usah ngeyel. Itu penelitian empiris pakar branding paling markotop di abad ini: Al Ries dan Jack Trout.

Pada Pemilu 1955, ada puluhan partai berlaga. Hasil dua besarnya diduduki oleh PNI dan Masyumi. Keduanya mewakili dua mainstream Nasionalis dan Islam. Namun pasca Pemilu 1955, Pemilu di Indonesia seakan berjalan secara anomali. Tiang bendera besar di langit negeri ini hanya dihuni oleh Nasionalis (PDIP)... sementara tiang besar yang satunya kosong tanpa bendera terhitung hampir selama tujuh puluh tahun...

Artinya, peluang besar sebenarnya terbentang lebar di depan partai Islam. Tapi mengapa kenyataannya tidak?

Pertanyaan besarnya: Bagaimana agar partai berbasis agama berkibar di tiang bendera yang kosong itu? Berdampingan megah dengan bendera Nasionalis seperti Pemilu 1955? Strategi branding seperti apa yang harus dilakukan untuk itu? Bisakah branding dibangun hanya dalam sekali Pemilu? Tersebar di manakah konsituennya selama ini? Kenapa tak ada tokoh yang sanggup mempersatukan?

(*penulis adalah praktisi branding)

Baca juga :