Dinas Syariat Islam Aceh:
Klarifikasi Framing Negatif Terhadap Rohingya
Muslim Rohingya di Myanmar sering digambarkan sebagai orang-orang yang paling sering mengalami persekusi di dunia. Mereka ditolak di negara sendiri, tidak diterima oleh beberapa negara tetangga, hidup miskin, tak punya kewarganegaraan, serta dipaksa meninggalkan Myanmar dalam beberapa dekade terakhir. Militer Myanmar melancarkan operasi militer di Rakhine, negara bagian di Myanmar barat yang selama ini menjadi “rumah” bagi orang-orang Rohingya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK) Dr M Adli Abdullah, SH, MCL menjelaskan nasib etnis Rohingya dari sudut pandang akademisi, sekaligus pemerhati kemanusiaan. Mereka bertutur tentang kisah-kisah mengenaskan, mulai dari perkosaan, pembunuhan, dan pembakaran rumah-rumah.
Orang-orang Rohingya mendapat hukuman kolektif atas tindakan milisi yang melawan pemerintah di Rakhine, yang pada akhirnya membuat tindakan pemerintah Myanmar tak ubahnya seperti melakukan pembersihan etnik. Sebenarnya, ASEAN bisa berperan menemukan solusi, sebab sudah menganggu kestabilan kawasan dengan mengalirnya pengunggsi ke negera ASEAN, seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
“Tetapi, biasanya sesama anggota ASEAN tidak saling mengecam. Karena itu, perlu adanya pendekatan yang menyeluruh untuk menyelesaikan masalah Rohingya. Indonesia perlu aktif karena mengalirnya pengungsi sudah sangat mengganggu dan meresahkan sampai ke masyarakat,” ujar Adli.
Adli menilai, saatnya dibentuk satuan tugas regional untuk mengkoordinasikan respons atas masalah Rohingya, yang diinisasi oleh ASEAN dan melibatkan PBB untuk mendesak Myanmar menerima kehadiran orang-orang Rohingya di tempat mereka lahir di Rakhine.
Lebih lanjut Adli mengatakan, sebenarnya masalah pengungsi Rohingya tanggung jawab organisasi internasional seperti UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees/ Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi) dan IOM (International Organization for Migration/Organisasi Internasional untuk Migrasi). Negara dan rakyat hanya belas kasihan saja. Negara merupakan aktor utama yang krusial dan bisa langsung turun tangan mengatasi pengungsi ke negaranya, termasuk Indonesia.
“Apalagi, negara ada anggaran untuk mengatasi permasalahan pengungsi seperti memberikan shelter, makanan, pakaian, dan kehidupan yang layak untuk pengungsi. Kalau perlu dicari pulau yang tak berpenghuni untuk menampung sementara mereka sebelum ditangani oleh negara ketiga atau IOM dan UNHCR,” kata Adli.
Akhir-akhir ini, semakin banyak framing negatif yang bersileweran di media sosial yang memberitakan tentang Rohingya. Adanya framing negatif tersebut wajib dilakukan verifikasi dan bukan menerima begitu saja. Bagaimanapun masalah Rohingya dan juga masalah lain di dunia lain seperti di Gaza adalah masalah kemanusiaan.
“Saya kira kita tetap membangun simpati terhadap masyarakat Rohingya yang terzalimi dan memang kalau ada yang terlibat human traficking harus ditindak. Jangan mencari keuntungan di atas penderitaan orang Rohingya. Semoga etnis Rohingya segera merdeka dunia akhirat,” tegas Adli.
“Kita harus mencari cara, agar berita yang disampaikan terverifikasi dan terus mendorong adanya perdamaian untuk etnis Rohingya di Myanmar,” tegas Adli lagi.
MPU Aceh: Ibarat menjamu tamu
Sementara itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh (MPU Aceh) Abu Faisal Ali mengatakan, masalah Rohingya adalah masalah kemanusiaan yang menuntut ummat Islam menjalankan perintah Allah yang disampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW tentang anjuran menjamu tamu.
Terlepas dari framing negatif, etnis Rohingya merupakan tamu yang harus dimuliakan. Artinya, mereka berhak mendapatkan makanan, pakaian, jamuan atau apapun yang memudahkan dalam menjamunya. Namun setelah itu, Faisal menjelaskan, usailah kewajiban penjamuan dan menjadi tanggung jawab pemerintah selaku pemangku kebijakan.
“Jangan sampai, karena banyaknya pemberitaan negatif yang menggambarkan kekurangan-kekurangan mereka, seolah menepis dan menihilkan kewajiban kita sesama muslim ataupun sekadar selaku manusia,” lanjut Faisal.
Menurutnya, jangankan manusia yang jelas-jelas korban kezaliman bangsanya, hewan saja yang terancam mati di depan mata berhak mendapatkan pertolongan walau setetes air. Apalagi etnis Rohingya yang dibuang oleh bangsanya, ditolak dimana-mana, terkutang-katung di lautan berhari-hari, terlabih mayoritasnya adalah anak-anak dan perempuan.
Sungguh Allah tidak meminta pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan di luar sana kepada ummat Islam di Aceh, tapi yang Allah minta adalah, rakyat Aceh dan ummat Islam Indonesia menerima saudara seiman sebagai tamu.