Cerita tentang Anies Baswedan, dari Konvensi Demokrat 2014, Pilkada 2017 dan Pilpres 2024

Oleh: @AnggaPutraF (Jubir AMIN)

πŸ”΅Cerita tentang pengalaman politik yang saya alami sejak Konvensi Demokrat, Pilkada 2017 dan Pilpres 2024. Sebuah cerita personal, karena kebetulan ada di situasi mirip-mirip. Hahaha. Kalau mau simak silakan, kalau nggak juga gpp.

πŸ”΅Konvensi Demokrat 2013 (untuk Pilpres 2014), waktu itu saya masih di penempatan Tulang Bawang Barat (Provinsi Lampung) sebagai Pengajar Muda dari Indonesia Mengajar (IM) yang didirikan Anies Baswedan sejak 2009. Tiba-tiba ada satu email dari kantor Indonesia Mengajar yang menyampaikan pesan bahwa Pak Anies Baswedan mundur dari IM karena akan maju sebagai peserta konvensi demokrat.

πŸ”΅Sebagai PM (Pengajar Muda) yang bertugas tentu saya kaget dan berdampak pada kerja kami di penempatan. Saya sempat dicurigai sebagai tim suksesnya, karena partai yang kuat di penempatan adalah PDIP. 2013-2014 rivalitas Demokrat dan PDIP cukup kencang.

πŸ”΅Sebagai orang yg banyak tanya (haha) saya menyampaikan pertanyaan, tentang kenapa kok bisa ikut konvensi. Kok gak mikirin kami yang di penempatan. Jawaban yang diberikan adalah maju sebagai capres adalah hak konstitusional setiap orang. Pak Anies mundur dari IM karena menghargai IM.

πŸ”΅Pak Anies sebenarnya punya hak untuk tetap menggunakan IM sebagai pendiri, tapi beliau memilih meninggalkan IM dan tidak menggunakan aset IM. IM tetap independen sebagai gerakan kerelawanan. Beliau bikin gerakan baru, namanya Turun Tangan.

πŸ”΅Suka atau tidak suka itu hak subjektif dari masing-masing. Hak konstitusional orang itu harus dihargai oleh setiap orang. Anies maju ke konvensi adalah haknya. Hanya karena kita gak suka, bukan berarti hak konstitusionalnya invalid.

πŸ”΅Lalu di 2017 saat saya bantu Pak Anies di Pilkada DKI, sebuah peristiwa mengejutkan di awal tahun baru datang di grup WA. Pak Anies datang ke Petamburan (Markaz FPI). Saya versi tahun 2017 cukup kaget dan kesal juga kenapa Anies datang ke Petamburan, haha, tapi ya jawaban Anies kala itu membentuk saya hari ini.
πŸ”΅Anies waktu itu mengatakan, FPI itu warga Jakarta juga. Aspirasinya perlu didengar. Datang ke sana tidak melanggar aturan apapun. Negara itu harus mendengarkan semua orang.  Negara tidak boleh memusuhi kelompok tertentu. Hak konstusional umat bergama itu sama, apapun agamanya.

πŸ”΅Negara harus mendengar semua pihak, bukan mendengar yang satu dan memusuhi yang lainnya. Republik ini tidak dirancang melindungi mayoritas, tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Republik ini dibangun untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia.

πŸ”΅Negara harus bisa menjadi jembatan antar pihak. Bukan negara yang membakar jembatan. Kalau ternyata ada gesekan yang serius. Negara harus menjembatani komunikasi antar keduanya, sehingga gesekannya tidak lagi kejadian. Jangan malah memperparah gesekan.

πŸ”΅Demikian Anies memberi penjelasan soal kedatangnya ke markaz FPI.

πŸ”΅2017-2022 selama memegang amanat sebagai Gubernur. Apa yang dia ucapkan dijalankan dengan konsisten. Anies Baswedan mendengarkan semua pihak. Dia menjadi jembatan atas panasnya gesekan yang ada di masyarakat.

πŸ”΅Kita tidak membayangkan ada christmas carol di Jakarta tahun 2019. Tidak pernah kita bayangkan ada masjid berdiri ditengah-tengah komunitas kristen di Jakarta Barat. Tidak pernah juga bisa dibayangkan ada gereja bisa dapat IMB di tengah umat muslim.

πŸ”΅Dalam satu pidato, Pak Anies bilang bahwa para ulama ada yang protes terhadap IMB salah satu gereja. Pak Anies datang langsung, mendengarkan pendapatnya, sampai pada satu titik setelah mendapat penjelasan dari Anies, ulama itu kemudian bilang "Pak, kami memilih bapak sepenuh hati, kami percaya pada bapak.”

πŸ”΅Kayaknya ada di beberapa kesempatan pidato. Saya sampai lupa di pidato yang mana, karena sering dengar. Saya menemukan bahwa pemimpin yang mendengar dan dipercaya oleh itu bisa mengubah cara pikir orang.

πŸ”΅Dan untuk Ijtima Ulama yang mendukung Anies di Pilpres 2024 dengan meneken 13 poin Pakta Integritas, saya memilih untuk percaya bahwa ini cara calon pemimpin negara mendengarkan semua pihak. 

πŸ”΅Apa sih hasilnya dari negara yang memusuhi kelompok tertentu selama 10 tahun terakhir ini? Emangnya gak capek apa 10 tahun terakhir digesek terus menerus?

πŸ”΅10 tahun terakhir ini juga gagal bikin Indonesia lebih harmonis kan? Toh SKB 3 menteri masih ada. Anies Baswedan tanpa mencabut SKB bisa tetep kasih izin rumah ibadah, lewat komunikasi dan mendengarkan semua pihak.

πŸ”΅Sekarang kita sedang memilih jalan. Apakah kita pilih jalan permusuhan seperti 10 tahun terakhir atau kita pilih jalan baru yang sudah dilakukan di Jakarta 5 tahun terakhir. Ini pilihan kita sendiri. Silakan memutuskan. Kalau saya, saya pilih yang tidak memusuhi siapapun.

πŸ”΅Praktik kontrak politik adalah praktik yang baik untuk demokrasi. Saya ingat beberapa kontrak politik yang di tandatangani Anies saat pilkada DKI Jakarta. Ke Buruh ->UMP 2022 tetap naik tinggi, ke JRMK -> penataan kampung, kampung susun etc, ke The Jak -> JIS.

πŸ”΅Presiden Jokowi yang dianggap mewakili liberal yang anaknya maju jadi wakil Prabowo aja tidak mencabut SKB 3 menteri. Anies gak perlu cabut, tetap bisa kasih IMB. Lewat apa? Komunikasi.

πŸ”΅10 tahun ini negara ikut campur dalam keributan dan permusuhan dengan kelompok tertentu. Capek lihatnya. Saatnya negara dipimpin yang mau mendengar semuanya. Supaya hidup lebih tenang. Tenang itu bisa ada karena semua merasa didengar oleh pemimpinnya. Bukan tenang dalam ketakutan.


Baca juga :