"Tentang Jabatan dan Mata Pencaharian"
(Cerita Buya Hamka di Tafsir Al-Azhar 63:7)
Teringatlah saya ketika menyusun Tafsir sampai di sini, nasib seorang teman sangat karib dengan saya ketika zaman perjuangan dahulu. Untuk kepentingan pembangunan negara, dia masuk jadi pegawai negeri. Di samping jadi pegawai negeri dia pun meneruskan cita-citanya dalam perjuangan fi sabilillah. Oleh karena pengaruhnya karena cita-cita perjuangan itu bertambah besar, tumbuhlah rasa curiga bagi pihak penguasa, sehingga dia disuruh memilih satu di antara dua: pertama, tetap jadi pegawai negeri tetapi hentikan kegiatan perjuangan, atau teruslah berjuang dalam cita-cita, tetapi mesti herhenti jadi pegawai.
Ketika datang "kata dua" seperti itu dari penguasa tertinggi, yang diajaknya musyawarah terlebih dahulu ialah istrinya mana yang akan dia pilih? Istrinya sangat-sangat memberinya dorongan,
"Kita bukan keturunan pegawai negeri! Kalau disuruh memilih, pilihlah perjuangan bersama umat!"
"Bagaimana jaminan hidup kita?" tanyanya kepada istrinya.
Lalu dengan nada kesal istrinya menjawab,
"Apakah Kakanda sekarang sudah berubah? Sudah terlalu enak jadi pegawai? Bukankah selama ini Kakanda memfatwakan di mana- mana, bahwa kalau kita berjuang karena Allah, pastilah Allah akan menjamin hidup kita. Apakah Kakanda tidak yakin lagi akan apa yang Kakanda ucapkan kepada orang lain itu?"
Bukan main gembira hatinya bercampur terharu mendengar jawaban tegas dari istrinya itu. Dan ketika teman-temannya seperjuangan datang menanyakan kepadanya bagaimana sikapnya? Dia telah menjawab dengan tegas padat: dia memilih tetap berjuang untuk agama dan meletakkan jabatan jadi pegawai negeri!
Padahal waktu itu dia telah mendapatkan kedudukan pegawai tertinggi. Memang setelah beberapa bulan kemudian seorang teman yang lain bertanya kepadanya, "Mengapa berhenti jadi pegawai? Dari mana akan dapat ganti jaminan yang diterima tiap-tiap hari ke-28?" (Ketika itu menerima gaji tiap-tiap tanggal 28).
Dengan tegas dia menjawab, "Sejak saya berhenti jadi pegawai, alhamdulillah, hampir setiap hari menjadi hari ke-28!
Kemudian tidak juga orang merasa puas! Disusun satu fitnah dan dituduhkan kepadanya, lalu dia ditangkap dan ditahan selama dua tahun empat bulan (28 bulan). Maka dia pun merasa beruntung karena dalam masa 28 bulan itu dapatlah dia waktu yang selapang-lapangnya buat tafakur, beribadah, membaca, muthala'ah dan memahamkan Al- Qur'an, yaitu suatu hal yang sangat perlu, yaitu memperkaya dan memperlengkap jiwa di dalam menegakkan agama Allah, yang tidak akan dicapainya kalau dia tidak diasingkan dengan paksa selama 28 bulan.
Tepatlah firman Allah itu "Bagi Allah-lah perbendaharaan-perbendaharaan di semua langit dan di bumi; tetapi kebanyakan orang munafik tidak mengerti."
10 tahun kemudian, setelah orang-orang yang memfitnahkan itu hancur semua laksana Qarun yang tenggelam ke dalam bumi bersama hartanya, teman yang difitnahkan itu masih meneruskan perjuangan menegakkan agama Allah, sekadar kekuatan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Perbelanjaan hidupnya benar-benar tercurah dari perbendaharaan Allah sendiri.
***
*CATATAN: Buya Hamka sebenarnya sedang membicarakan dirinya sendiri. Tapi memang Beliau menggunakan kata ganti orang ketiga. Di otobiografinya juga begitu, beliau menyebut dirinya "kawan kita", "teman ini", pokoknya pakai kata ganti orang ketiga. Sering dengan gaya seperti itu kalau membicarakan diri sendiri.