ANIES TIDAK TAHU TERIMA KASIH?
Oleh: Wendra Setiawan
Pasca kekalahan menyakitkan di Pilpres 2014, Prabowo kembali mendapat pukulan telak. Ahok secara mengejutkan mengumumkan keluar dari Gerindra.
Padahal Ahok adalah kader paling potensial yang dimiliki Gerindra. Ahok lah satu-satunya tokoh yang bisa menandingi popularitas Jokowi saat itu.
Sebuah kehilangan besar bagi Gerindra. Yang lebih menyakitkan lagi, Ahok tidak hanya keluar, tapi dia juga seolah-olah melawan dengan pernyataan-pernyataan yang menyudutkan bekas partainya itu.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Setelah Jokowi naik jabatan sebagai Presiden RI, otomatis Ahok yang akan menggantikan posisinya sebagai Gubernur DKI.
Gerindra galau. Harapan Prabowo yang ingin kembali berkompetisi di Pilpres 2019 dengan memanfaatkan popularitas Ahok hancur berantakan.
Gubernur DKI adalah jabatan yang sangat strategis karena DKI adalah pusat perhatian nasional. Parpol yang menguasai DKI, otomatis akan mendapat sorotan paling tinggi. Kehilangan posisi penting itu tentu akan membahayakan posisi PS dan Gerindra di Pilpres 2019.
Karena itulah, jabatan Gubernur DKI harus direbut kembali.
Sayangnya, Gerindra tidak lagi punya kader yang mumpuni untuk melawan Ahok di Pilkada DKI 2017. Sandiaga Uno yang saat itu namanya mulai populer tidak yakin mampu mengalahkan Ahok.
Lalu PKS datang menyodorkan nama Anies Baswedan, mantan Mendikbud dan eks jubir timses Jokowi yang pernah membuat Mahfud MD tergagap-gagap saat mereka berdua tampil dalam sebuah talk-show di salah satu stasiun tv swasta, untuk dicalonkan sebagai Gubernur DKI.
Prabowo Subianto (PS) yang memang kagum akan kemampuan orasi Anies, tertarik dengan usulan PKS.
Pembicaraan pun berlanjut. Anies lalu diundang ke rumah PS. Jadi bukan Anies yang ngemis-ngemis ke rumah PS minta dicalonkan.
Singkatnya, PS dan Gerindra setuju. Anies dan Sandiaga maju dalam kontestasi Pilkada DKI 2017, dan endingnya menang telak.
Kemenangan yang berhasil mengembalikan kepercayaan diri PS dan Gerindra dalam menatap Pilpres 2019.
Menjelang pilpres 2019, dalam beberapa survei, PS-Sandi sempat unggul, walau di banyak survei lain mereka kalah. Artinya, walaupun kecil, mereka ada peluang mengalahkan petahana.
Sayangnya, sebuah blunder fatal terjadi. Ratna Sarumpaet seperti kuda Troya yang disusupkan lawan untuk menghancurkan tim PS dari dalam. PS pun babak belur seperti babak belurnya wajah Ratna Sarumpaet.
Sebenarnya pencapaian PS tidak terlalu buruk. Suara yang mereka raih di 2019 lebih tinggi jika dibandingkan dengan suara yang mereka capai di Pilpres 2014. Dari 62,5 juta suara naik menjadi 68,6 juta suara. Hanya saja lawannya juga naik signifikan. Dari 70 juta naik jadi 88 juta suara. Maklum, di 2019 ODGJ juga diarahkan untuk ikut mencoblos.
Di luar kasus kekalahan PS di Pilpres 2019, jika dinilai dengan kepala dingin, hubungan Anies dan Prabowo sebenarnya simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan. Di pihak Anies jelas. Dia jadi gubernur. Di pihak PS dan Gerindra juga jelas, mereka berhasil mengembalikan suara yang hilang akibat keluarnya Ahok, yang sayangnya tidak mampu mereka manfaatkan dengan baik.
Lalu di mana rasa tidak tahu berterima kasihnya Anies?
Anies diangkat PS dari comberan? Bisa jadi, walaupun sebenarnya sebelum ditawarkan jadi Cagub kedudukan Anies lebih mulia daripada yang menuduh dia dari comberan. Tapi harus diingat, Anies juga berjasa karena berhasil mengangkat kembali Gerindra yang hampir terkubur di comberan.
(fb penulis)