Waspada Konflik Sosial Jelang Pemilu

Waspada Konflik Sosial Jelang Pemilu

Oleh: Eva Agustina (Mubalighoh)

Sikap fanatisme dan polarisasi politik karena figur parpol tertentu yang menyebabkan terjadinya potensi konflik menjelang pemilu, seperti yang terjadi di Muntilan, Magelang. Meskipun tidak menelan korban jiwa, namun beberapa rumah warga hancur dan 6 unit sepeda motor hangus dibakar massa. Bentrok diduga melibatkan laskar PDIP Jogja (BSM dan Bregodo Wirodigdo) yang baru saja menghadiri acara di Mungkid dengan Gerakan Pemuda (GPK) Militan.

Konflik dipicu karena adanya polarisasi politik atau pembagian parpol terhadap pandangan politik yang dianut. Masa menjelang pemilu, fanatisme buta bisa tumbuh subur di iklim politik yang demokratis. Orang yang fanatik rentan bias kognitif. Karena sikap fanatik tidak bisa lagi melihat benar dan salah, padahal keberpihakan rakyat kepada partai tertentu umumnya karena faktor emosional, simbol dan figur, tanpa memahami kemana arah dan tujuan parpol tersebut. 

Keterikatan demikian memudahkan terjadinya gesekan antar individu/kelompok lantaran kuatnya sentimen egoisme kelompok dengan pemicu hal yang sangat sepele. Mirisnya, perselisihan lazim terjadi di akar rumput, padahal para elite partai justru bekerja sama demi tercapainya tujuan. Fakta ini selaras dengan ungkapan "Tidak Ada Teman Sejati, yang Ada Hanyalah Kepentingan Abadi".

Dalam beberapa kondisi, emosional terhadap figur parpol tertentu dapat menimbulkan sikap partisan yang mendorong loyalitas dan kerelaan orang bekerja sukarela untuk figur parpol bahkan sampai merugikan dirinyasendiri. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh aktor figur parpol untuk memobilisasi dukungan rakyat agar ia bisa mencapai tujuan yang diinginkan.

Umat harus memahami dengan benar tujuan yang hendak diraih para elit politik dan waspada terhadap pihak-pihak yang memanfaatkan suara rakyat untuk kepentingan individu/kelompok. Dengan demikian wajib membangun kesadaran umat agar tidak terjebak strategi politik yang merugikan rakyat.

Adapun tujuan utama elit politik tidak lain adalah kekuasaan. Terlepas mereka mau memperjuangkan atau tidak terhadap aspirasi simpatisan mereka, yang pasti demi kekuasaan apa saja bisa dilakukan, dan apa saja bisa dikompromikan. Dengan demikian, apakah mereka concern dengan aspirasi setelah mencapai kekuasaan? Belum tentu. Bahkan ketika salah satu parpol sudah terpilih, mereka saling akur, kumpul bareng, ngopi bareng, sedangkan yang di bawah masih sibuk adu sikut. Lantas, siapa yang rugi?

Pada dasarnya fungsi partai politik itu ada empat. Pertama, edukasi politik dengan mendidik umat/rakyat untuk mengetahui hak dan kewajiban mereka. Kedua, agregasi yaitu mendengarkan kebutuhan rakyat dan memperjuangkan kebutuhan rakyat dengan menghubungkan pada penguasa. Ketiga, advokasi adalah memberi pendampingan hukum saat terjadi konflik antara umat/rakyat dan penguasa. Keempat, fungsi kontestasi adalah pertarungan pemilihan meraih kedudukan politik. 

Tapi pada faktanya, hanya fungsi keempat yang dijalankan hari ini. Karena euforia kontestasi politik sangat terasa setiap lima tahunan serta memandulkan ketiga fungsi lainnya. Terbukti rakyat tidak pernah merasakan adanya edukasi politik apalagi pembelaan terhadap hak-hak mereka sebagai contoh kasus yang saat ini tengah melanda Pulau Rempang.

Pandangan Islam

Islam membolehkan adanya banyak partai sebagai sarana terikat terhadap aturan Allah dan Rasulnya dan saling menghormati dalam menjalankan amanah. Politik di dalam Islam sejatinya bermakna mengurusi urusan umat. Politik Islam tegak atas dasar akidah Islam, dengan kata lain, politik Islam hakikatnya adalah pengurusan urusan rakyat berdasarkan prinsip syariat.

Urgensi peran politisi Islam atau parpol Islam adalah senantiasa hadir untuk memastikan kemaslahatan umat melalui beragam aktivitas antara lain, edukasi politik, muhasabah kepada penguasa, mengoreksi bila ada kekeliruan. Sosok politisi inilah yang kini tergerus dalam praktek politik hari ini.

Sejatinya, politik yang benar adalah terletak pada pemahaman yang benar yaitu pemahaman Islam bukan yang lain. Jika masyarakat hanya menggunakan emosional, maka inilah yang terjadi menjelang pemilu identik dengan konflik, tanpa adanya kesadaran alasan apa yang membuat keberpihakan yang berlebihan terhadap parpol tertentu.    

Dengan demikian, masyarakat wajib kritis terhadap kabar politik hari ini. Setiap orang harus introspeksi memeriksa fanatisme dalam diri. Tidak seharusnya terjebak dengan polarisasi politik demokrasi yang dapat menimbulkan perselisihan di tengah-tengah masyarakat, karena itu merugikan masyarakat itu sendiri.

Selain itu, kesadaran politik masyarakat harus diperbaiki. Sebab, urusan politik bukan hanya ketika menjelang pemilu saja. Khususnya, umat Islam yang harus mempunyai mentalitas negarawan tidak mudah terpengaruh dengan kisruh politik pragmatis. Namun, mempunyai cita-cita besar sebagai bagian dari masyarakat umum yang senantiasa menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar kepada penguasa.

Wallahua'alam bisshawab
Baca juga :