Oleh: Ustadz Yendri Junaidi
Sesederhana itu…
◼Seorang gelandangan lewat di depan sebuah rumah. Tiba-tiba saja ia suka pada rumah itu; asri, bersih, lingkungannya tenang, tanahnya subur dan seterusnya. Ia pun berambisi untuk menempati rumah itu.
◼Tapi bagaimana caranya? Bukankah rumah itu sudah berpunya? Bukankah ia hanya seorang gelandangan yang kebetulan lewat?
◼Tapi ia tak kehabisan akal. Ia mulai mengarang cerita bahwa dulu nenek moyangnya pernah berwasiat kalau rumah itu adalah rumah miliknya yang suatu saat nanti akan dimilikinya.
◼Dengan modal cerita itu, ia mulai berkoar kesana kemari bahwa sesungguhnya rumah itu adalah miliknya yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya. Sementara penghuni saat ini adalah orang-orang yang menumpang yang sesungguhnya tak punya tempat tinggal.
◼Sang gelandangan ternyata mendapat dukungan dari beberapa orang yang tak suka pada penghuni rumah tersebut. Apalagi mereka merasa punya kepentingan kalau nanti si gelandangan ini bisa merebut rumah tersebut. Kalau ia dibantu untuk merebutnya, tentu ia akan menjadi sekongkol yang baik dan bisa diajak kerjasama.
◼Karena merasa dapat dukungan, si gelandangan mulai mengajak para gelandangan lainnya yang senasib dengannya untuk menempati rumah itu. Ia mengatakan bahwa rumah itu adalah rumah kita bersama para gelandangan. Itu rumah yang telah dijanjikan pada kita oleh para pendahulu kita yang juga para gelandangan.
◼Maka dimunculkanlah satu persepsi bahwa para gelandangan ini adalah ‘masyarakat tanpa rumah’. Sementara rumah yang ditempati penghuni rumah itu adalah ‘rumah tanpa masyarakat’.
◼Kalau demikian maka para penghuni rumah tersebut mesti diusir karena mereka tak berhak atas rumah itu. Setelah itu rumah akan ditempati oleh para gelandangan yang diklaim sebagai pemilik sah rumah itu.
◼Apakah penghuni rumah tersebut akan diam? Tentu saja tidak. Jangankan manusia, hewan saja ketika diusir dari kandangnya akan melawan.
◼Tapi anehnya, ketika mereka melawan, mereka justeru dituduh teroris. Tuduhan ini jelas tidak lahir dari sebuah logika, melainkan kepentingan.
◼Tiba-tiba ada yang datang memberikan solusi ‘bijak’. Dengan gaya sok berwibawa ia berkata pada penghuni rumah dan para gelandangan yang ingin merebut rumah, “Bagaimana kalau kita bagi saja rumah ini. Setengah untuk kalian (sambil menujuk ke arah penghuni yang sah), dan setengah untuk kalian (sambil menunjuk ke arah para gelandangan perampas).”
Kalau Anda menjadi penghuni dan pemilik sah rumah itu apakah Anda akan mengatakan, “Saran Anda sangat bijaksana dan kami sangat berterimakasih…”.???
المحتل لن يدوم
[Video komika Irlandia secara parodi menggambarkan dengan tepat apa yang terjadi pada Palestina]
Tsunami fakta tentang Palestina, Israel dan Media Barat oleh komedian Irlandia, @TadhgHickey pic.twitter.com/PLyW1TIgCj
— Cordova Media (@cordova_media) July 28, 2023