SINETRON Putusan MKMK

Pak Lurah berkata: "Politik kita terlalu banyak sinetronnya."

Sematkanlah pengandaian tentang 'sinetron' sebagai tayangan yang bermutu rendah, tidak mendidik, bla bla...

'Sinetron' terbaru adalah putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang memutus pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang dilakukan oleh Ketua MK Anwar Usman, paman Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Jokowi, yang bacawapresnya Prabowo Subianto itu, lho.

Koran Tempo (Rabu, 8/11/2023) berkesimpulan dalam Editorialnya: "Walhasil, kita akan menyaksikan seorang calon wakil presiden berlaga dalam pemilihan umum berkat pelanggaran berat Paman Anwar."

Koran Kompas (Rabu, 8/11/2023) berposisi begini: "Segera bereskan segala urusan, termasuk uji formil terhadap putusan MK, karena bangsa ini sedang berkejaran dengan waktu."

Meskipun saya agak ragu dengan posisi Kompas, apakah uji formil terhadap putusan MK memungkinkan secara hukum acara, mengingat yang bisa diuji adalah proses pembentukan UU saja dan pengajuannya pun ada batas waktu, yakni paling lambat 45 hari setelah UU diundangkan.

*

Mengapa saya sebut putusan MKMK laksana 'sinetron'?

Simak Putusan MKMK Nomor: 2/MKMK/L/11/2023. 

Salah satu poin penting putusan MKMK adalah "Hakim Terlapor (Anwar Usman) tidak bekerja dan tidak terlihat bekerja secara independen dan imparsial terutama dalam penanganan perkara 90/PUU-XXI/2023."

Baik "tidak bekerja secara imparsial (to be impartial)" maupun "tidak terlihat bekerja secara imparsial (appear to be impartial)" terbukti karena Anwar Usman tidak mundur dari penanganan perkara 90, padahal "secara nyata-nyata terdapat benturan kepentingan, karena perkara 90 berkaitan langsung dengan kepentingan keluarga Hakim Terlapor, yaitu Gibran Rakabuming Raka," demikian pertimbangan MKMK.

MKMK mempertimbangkan juga begini: "Bahwa hasil investigasi jurnalistik yang dilakukan Tempo menemukan bahwa terdapat keterlibatan pihak luar dalam lahirnya putusan 90 sebagaimana hasilnya telah disebarluaskan melalui Youtube."

Uniknya adalah, "JIKA pemberitaan Tempo benar, maka menunjukkan adanya INDIKASI PENGARUH EKSTERNAL dalam proses pengambilan putusan yang seharusnya bersifat independen."

Jadi, atas pertimbangan fakta dan hukum di atas itulah Anwar Usman disanksi---yang bagi saya seharusnya tidak cukup hanya dicopot dari Ketua MK, tapi seharusnya diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan hakim konstitusi sesuai aturan yang ada. 

*

Sanksi teguran terhadap kesembilan (semua) hakim MK juga dijatuhkan dalam hal pelanggaran prinsip kepantasan dan kesopanan berhubungan dengan kebocoran informasi di dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).

Dari mana MKMK mendasarkan adanya kebocoran informasi itu? 

"Kebocoran ini diuraikan secara jelas dan lengkap dalam pemberitaan di Majalah Tempo yang berjudul 'Skandal Mahkamah Keluarga' bertanggal 22 Oktober 2023."

Apakah kebocoran informasi dimaksud dilakukan oleh hakim ataukah pejabat dan staf pendukung RPH?

Dari hasil pemeriksaan MKMK, "keseluruhan hakim konstitusi menjawab tidak mengetahui siapa oknum yang membocorkan informasi rahasia RPH," kata MKMK.

Mengapa tidak tanya saja ke pihak Tempo? 

"Terbentur pada UU 40/1999 tentang Pers yang mesti melindungi sumber informasi."

Namun, "Majelis Kehormatan MEYAKINI bahwa kebocoran informasi BOLEH JADI terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja dilakukan oleh HAKIM KONSTITUSI, meskipun tak cukup bukti untuk mengungkap kebocoran informasi... "

*

Bukankah semua itu 'sinetron' banget? 

Memangnya boleh, ya, sesinetron itu?

Bagaimana bisa seorang pelanggar berat Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, sekaligus dan dalam waktu bersamaan, tetap  duduk, digaji, dan difasilitasi duit negara/APBN, sebagai hakim konstitusi (yang dibayangkan sebagai manusia setengah dewa, wakil Tuhan di bumi, penjaga marwah konstitusi).

Betapa 'uniknya' adegan ketika semua hakim konstitusi menjawab tidak tahu siapa pembocor informasi, sementara MKMK-nya meyakini bahwa pembocornya adalah dari kalangan hakim konstitusi (dengan demikian MKMK mengandaikan ada di antara para hakim konstitusi itu yang berbohong, sementara bagaimana ceritanya hakim, kok, diandaikan berbohong).

Akan lebih 'sinetron' lagi jika cerita selanjutnya ada pihak (dari MK atau hakim konstitusi) yang mengadukan Tempo ke Dewan Pers atas dugaan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dalam hal pelaporan karya jurnalistik yang mana karya jurnalistik itu menjadi acuan putusan MKMK untuk menghukum Anwar Usman atas pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. 

Bagaimana jika putusan Dewan Pers kelak menyatakan Tempo melanggar Kode Etik Jurnalistik?

Ceritanya jadi lucu karena Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan dan menjadikannya fakta hukum sebuah karya jurnalistik Tempo yang ternyata diputus melanggar Kode Etik Jurnalistik untuk menghukum Hakim Konstitusi/Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman atas pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

*

Pertanyaannya, mengapa NKRI tercinta kita jadi komedi seperti ini?

Mengapa semua seolah 'diacak-acak' begini?

Apakah ini tujuan kemerdekaan yang sesungguhnya?

Apakah ini tujuan kita berbangsa dan bernegara?

Untuk memuluskan anak Pak Lurah mencapai dermaga kemenangan, dengan cara-cara yang 'sesinetron' itu?

Lantas apa artinya perkataan Pak Lurah: "Politisi kita terlalu banyak sinetronnya."

Apakah pernyataan itu benar atau salah, seberapa bisa kita percaya?

Dalam ilmu logika, ada yang disebut Paradoks Pembohong atau ada juga yang mengenalnya sebagai Paradoks Pinokio. 

Tapi tak perlu juga Anda sampai pelototi hidung Pak Lurah memanjang atau memendek untuk menandakan apakah ia berbohong atau tidak dalam perkataannya.

Hidup tak semartabak itu juga, kok.

Pak Lurah adalah seorang politisi maka ia adalah termasuk dalam "politisi kita yang terlalu banyak sinetronnya" itu. Karena ia termasuk bagian dari "politisi kita yang terlalu banyak sinetronnya" itu maka pernyataannya bahwa "politisi kita terlalu banyak sinetronnya" itu adalah sinetron juga (yang artinya tidak bisa dipercaya). Kalau pernyataan bahwa "politisi kita terlalu banyak sinetronnya" tidak benar maka tidak benar bahwa "politisi kita terlalu banyak sinetronnya". Kalau pernyataan bahwa "politisi kita terlalu banyak sinetronnya" tidak benar maka Pak Lurah berkata tidak benar...

Dan seterusnya, seperti lingkaran setan.

Tapi, beberapa pemikir telah 'memecahkan' paradoks itu. 

Lawan (negasi) dari "politisi kita terlalu banyak sinetronnya" adalah berarti ada politisi yang tidak terlalu banyak sinetronnya (entah berapa orang jumlahnya, tapi ada, dalam arti yang tulus, berkata benar, nir-drama, bukan tipe jarkoni). 

Dan dalam hal contoh di atas---dari entah berapa jumlah yang tulus, jujur, nir-sinetron itu---yang jelas bukanlah Pak Lurah berikut segala jenis 'sinetron' yang diproduksi oleh dia dan timnya.

Salam.

(Agustinus Edy Kristinato)

Baca juga :