RANTAI SEJARAH PEMBEBASAN AL QUDS: IMAM AL-GHAZALI, SALAHUDDIN AL AYYUBI, HAMAS

RANTAI SEJARAH PEMBEBASAN AL QUDS

Oleh: Ustadz Taufik M Yusuf Njong

Betapapun Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali (Imam Al-Ghazali) tidak mengobarkan seruan jihad melawan Pasukan Salib yang merebut Al-Quds dimasa hidupnya, Dr. Majid Irsan Al-Kilani dalam bukunya 'Hakadza Zhahara Jiilu Shalahuddin' mengklaim bahwa 'madrasah Al-Ghazali' adalah gerakan pembaharuan pertama yang menjadi cikal bakal lahirnya generasi Shalahuddin yang kemudian merebut kembali Al-Quds. 

Madrasah ini, alih-alih 'mengutuk' faktor eksternal imperialisme salibis dan meratapinya, Al-Ghazali memilih fokus mendiagnosis 'penyakit' internal umat, mengkritisi, memberikan solusi dan memperbaikinya. 

Al-Ghazali memulainya dengan reformasi ilmu, pemikiran dan jiwa (hawa nafsu) sebelum reformasi politik dan militer dst. 

Karena, bisa jadi banyak orang yang mengklaim dirinya dan golongannya sebagai firqah najiyah atau bahkan sebagai representasi dari Jama'atul Muslimin, namun karena berangkat dari congkaknya kebodohan, 'perjuangannya' justru menjadi bumerang bagi umat Islam sendiri.

Hal yang pertama-tama dilakukan Al-Ghazali adalah mengkritik sikap fanatisme mazhab (baik teologi maupun fiqih) yang telah mencerai beraikan umat Muhammad Saw sedemikian rupa. 

Al-Ghazali mengkritik (terutama dalam kitab 'Faishal At-Tafriqah'-nya) sikap ekstrem sebagian pengikut Asya'irah, Mu'tazilah dan Hanabilah yang saling mengkafirkan. Ia memberikan teladan luhur bagaimana bersikap adil bahkan terhadap mazhab-mazhab akidah yang berseberangan dengannya. Sebagaimana Ia juga mengkritik sikap 'ghuluw' sebagian fuqaha' dalam membahas hal-hal yang tidak aplikatif dan tidak bernilai ukhrawi serta meninggalkan 'fiqih prioritas'. Al-Ghazali mengkritik 'kerancuan manhaj' para ulama yang gagal dalam menampilkan wajah Islam yang komprehensif. Karenanya, Al-Ghazali mengarang karya monumentalnya 'Ihya Ulumiddin' untuk menghidupkan kembali hakekat ilmu agama dan 'menciptakan' generasi baru ulama yang memahami permasalahan inti umat serta tidak larut dalam menonjolkan fenomena praktek-praktek agama yang parsial dan sekedar seremonial.

Al-Ghazali.. mungkin ilmuwan paling terkenal dalam kehati-hatiannya dalam mengkafirkan sesama muslim. Kesalahan dalam membiarkan seribu orang kafir lebih ringan ketimbang kesalahan dalam mengkafirkan seorang muslim. Karena konsekuensi dari takfir adalah kehalalan darah orang yang dikafirkan dst. Akan tetapi, dari Al-Ghazalilah kita mengenal vonis takfir keras terhadap sekte Syi'ah Bathiniyah bahwa; "lahir dari mazhab mereka (Bathiniyah) adalah penolakan/ar-rafdhu/rafidhah (terhadap kekhalifahan Abu Bakar dst), tapi batinnya adalah kekufuran semata-mata."

Meski demikian, ketika berbicara vonis individual, Al-Ghazali kembali berhati-hati dalam mengkafirkan individu Bathiniy terutama orang awam mereka sebagaimana ia jelaskan dalam 'Fadha_ih Al-Bathiniyah'.

Sebagian orang menganggap, penerimaan Al-Ghazali terhadap permintaan Khalifah Abbasiyah untuk 'membantah' kerancuan akidah sekte Syi'ah Bathiniyah/Isma'iliyah adalah bentuk ketundukannya (dalam perspektif negatif) terhadap penguasa. Akan tetapi, mereka yang mengkaji tulisan Al-Ghazali tentang amar makruf nahi mungkar dalam 'Ihya' mau tidak mau akan mengakui proporsional sikapnya ketika dengan keras ia juga mengkritik penguasa zalim di zamannya, melarang bertransaksi dengan harta mereka bahkan memboikot mereka (terutama penguasa Bani Seljuk yang saling bersengketa).

Sebuah gerakan Islam ataupun ormas Islam yang menginginkan perubahan menyeluruh haruslah menjadikan amar ma'ruf nahi mungkar sebagai salah satu titik tolaknya sebagai karakteristik 'umat terbaik'. Jauh dari kebenaran jika ada yang menganggap bahwa fase terakhir dari kehidupan Al-Ghazali adalah fase uzlah total yang pasif. Sebab dalam kitabnya Al-Munqidh, Al-Ghazali justeru menceritakan bagaimana ia 'keluar lagi' untuk beramar ma'ruf nahi mungkar dan menyebarkan ilmu. Tapi kali ini dengan motif berbeda; benar-benar lillah.

Hari ini, Hamas Palestina adalah salah satu gerakan Islam yang paling peduli dengan persatuan umat Islam dan para pemimpinnya (bahkan diluar komunitas Sunni), paling hati-hati dalam mengkafirkan para penguasa zalim, menjunjung tinggi amar ma'ruf nahi mungkar. Dari sisi keilmuan dan tarbiyah, kaderisasi mereka berjalan ketat dan mereka ikut terlibat dan berkhidmat di Universitas Islam Gaza. Dan jika jihad adalah salah satu karakteristik fundamental dari Thaifah Al-Manshurah, maka biarlah kita berharap Hamas dan kader-kadernya (dengan semua kekurangannya) mudah-mudahan adalah generasi Shalahuddin baru yang ditakdirkan untuk merebut kembali Al-Quds.

“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku kelompok yang selalu menolong kebenaran atas musuh mereka, orang-orang yang yang menyelisihi mereka tidak akan membuat mereka goyah kecuali orang yang tertimpa cobaan, sampai datang kepada mereka janji Allah Azza wa Jalla. Mereka bertanya “Wahai Rasulullah di manakah mereka?” Beliau menjawab, “Baitul Maqdis dan sisi Baitul Maqdis.” (HR Ahmad)

Wallahu A'lam.

Baca juga :