PKS, IM dan HAMAS

SEPENGGAL EPISODE
(Silakan dibaca sampai tuntas) 

Dulu, akhir 2009 menjelang 2010, ketika saya memutuskan untuk keluar dari PKS, di antara poin-poin keberatan yang saya sampaikan terkait manhaj PKS waktu itu adalah:

👉🏻 Permasalahan tawassul saat berdoa yang menurut Syaikh Hasan Al-Banna bukan termasuk perkara akidah. Padahal yang saya pahami saat itu, termasuk pembatal keislaman poin ke-2.

👉🏻 Permasalahan pembagian bid'ah menurut Syaikh Hasan Al-Banna, di mana beliau membaginya menjadi bid'ah idhafiyah, tarkiyah, dan iltizam, dan beliau menilai semua bid'ah tersebut pada perkara ibadah mutlak, bukan termasuk bid'ah yang tercela.

👉🏻 Permasalahan terlalu tolerannya PKS dan "saudara-saudaranya", seperti IM di Mesir atau Hamas di Palestina, yang menurut saya saat itu terlalu bermudah-mudah untuk bekerjasama dengan orang-orang kafir, baik itu Nasrani maupun Rafidhah (Syiah).

👉🏻 Saya juga dulu mengkritik Hamas yang saya nilai saat itu terlalu "nasionalis" dan saya anggap saat itu mengesampingkan cita-cita yang lebih tinggi yaitu menyatukan negara-negara Islam dalam satu naungan. Makanya pada kurun 2009-2010, saat Hamas bentrok dengan faksi-faksi jihadist, saya lebih condong memihak pada faksi-faksi tersebut.

Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, saya terus terang merasa begitu malu kepada Syaikh Hasan Al-Banna, sebab dua poin yang disebutkan di atas, ternyata kebenaran ada pada beliau dan saya yang keliru dengan kekeliruan yang besar.

Persoalan doa dengan bertawassul ternyata memang bukan perkara akidah. Bahkan dinilai mubah oleh jumhur ulama dan dianjurkan oleh sebagian ulama, seperti misalnya Al-Imam Ibnul Jazariy dalam kitab Hishnul Hashin. Seorang Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab pun "hanya" menyatakan bahwa doa dengan tawassul itu sebagai makruh dan beliau mengakui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Demikian pula permasalahan pembagian bid'ah, yang jelas-jelas difatwakan oleh para ulama mujtahidin. Dari mulai Al-Imam Asy-Syafi'i, Al-Imam Al-Izz bin Abdissalam, Al-Imam Asy-Syathibi, dan para ulama yang lain. Walaupun terdapat sedikit perbedaan dari sisi rinciannya, namun hal tersebut menunjukkan bahwa para ulama benar-benar membagi bid'ah dan tidak menilainya secara mutlak.

Adapun poin ketiga dan keempat, saya menemukan titik terang mengenai fikih politik dan jihad saat mengkaji surat-surat dan fatwa para mujahidin AQ (Al Qaeda), termasuk Syaikh Usamah, dan tentu yang paling membekas adalah ketika saya sedikit demi sedikit mengkaji kitabnya Abu Mushab As-Suri yang menggambarkan bagaimana mestinya gerakan jihad berinteraksi dengan kaum muslimin secara umum, serta bagaimana semestinya bernarasi.

Ternyata kebaikan-kebaikan tersebut ada pada IM di Mesir maupun Hamas di Palestina. Semua perkiraan dan tuduhan saya saat itu keliru. Entah kepada siapa saya semestinya meminta maaf atas kebodohan dan kedunguan saya pada masa lalu. Namun yang pasti bahwa IM dan Hamas telah memberikan banyak inspirasi bagi perjalanan hidup dan dakwah dalam diri saya. Saya juga berterima kasih kasih yang sebesar-besarnya atas segala tarbiyah yang saya dapatkan dari para Murabbi di PKS, yang telah membuka cakrawala pemikiran, menumbuhkan ghirah dalam dakwah dan jihad, serta mengajarkan pada saya bagaimana semestinya menjunjung tinggi toleransi pada perkara-perkara yang tidak disepakati, dan bekerjasama pada perkara-perkara yang disepakati.

Sebagian ikhwah, ada yang bertanya apakah saya akan kembali ke PKS?

Maka jawaban saya, tidak pernah terpikirkan.

Apa alasannya?

Simpel, saya tidak menyukai politik praktis. Tapi, saya akan selalu mendukung perjuangan saudara-saudara saya di parlemen dan pemerintahan, baik dari PKS ataupun dari partai yang lain, selama mereka komitmen untuk menutup pintu-pintu kemadharatan dan membuka pintu-pintu kemaslahatan.

Wallahu a'lam.

(Muhammad Laili Al-Fadhli)

*sumber: fb
Baca juga :