Seharusnya, sejak awal Jokowi terbuka, terus terang dengan Megawati, jika akan mendukung Prabowo. Kira-kira begitu kata Panda Nababan dalam podcast Total Politik yang dipandu oleh Arie Putra dan Budi Adiputro. Ketidakterbukaan Jokowi, kini dipersalahkan. Apa bisa demikian?
Politisi mengatakan hal yang sebenarnya itu adalah kesalahan. Makanya politisi itu sendiri heran, jika ada orang yang percaya dengan apa yang dikatakannya. Bukan tak ada politisi yang jujur, tapi politisi yang mengatakan apa yang dimauinya, sama saja menghancurkan dirinya.
Apalagi politisi yang hidup dalam budaya yang memang cenderung tertutup seperti budaya Jawa. Tertutup itu kebersahajaan. Keterbukaan sama sama dengan ketelanjangan dan itu jorok sekali. Orang menyampaikan sesuatu dengan simbol-simbol, bukan dengan keterusterangan.
Apalagi Jokowi memang seorang politisi yang penuh dengan kalkulasi. Ia tak mau buru-buru. Ojo kesusu. Belajar terus pada dinamika. Ia sendiri bisa jadi tak yakin dengan apa yang dikatakannya suatu saat. Bisa mendadak berubah dan itu tak sekali dua kali. Maka tak heran, ia dijuluki "orang yang sebaliknya". Kiri kata Jokowi, berarti ia ke kanan.
Menyalahkan Jokowi kenapa tak terus terang sama Megawati sejak awal, itu mengada-ada. Pura-pura tak tahu. Berarti salah baca terhadap Jokowi itu sendiri. Terlalu yakin Jokowi itu tak akan bisa apa-apa, jika tak ada mereka. Sudah begitu jelas sebetulnya, tapi pura-pura tak tahu.
Kini menganggap pula semua yang terjadi saat ini ialah skenario Jokowi. Tak pula Jokowi, tapi istrinya, Iriana Jokowi, yang cawe-cawe sejak awal. Tak bisa demikian. Bahkan, Gibran akan menjadi wakil Prabowo pun, Jokowi bisa jadi tak terpikirkan sebelumnya. Tapi itulah yang ia dukung kini, sambil tetap bilang soal netralitas.
(Oleh: Erizal)