Catatan Agustinus Edy Kristianto:
Sudahlah. Nyaris mustahil Pak Lurah netral. Kecap manis cuma terhidang di media, selebihnya masyarakat terima saja kenyataan politik yang pahit.
Sebagai seorang pribadi, bapak, suami, kepala negara, kepala pemerintahan adalah satu paket atribut yang melekat padanya.
Sulit diterima akal jika ia menyamaratakan rasa 'sayang' terhadap Gibran dengan MMD dan Cak Imin. Sebagai bapak, ia justru akan mempermalukan dirinya sendiri kalau berlaku demikian.
Apalagi sebagai suami. Pun, dirinya bakal 'dipermalukan' sebab istrinya juga yang mendorong suaminya itu agar Gibran bisa menjadi cawapres Prabowo, yang mana kemudian "permintaan sang istri akhirnya membuat Jokowi berkomunikasi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga adik iparnya, Anwar Usman." (Majalah Tempo, 30 Oktober 2023)
Sesuatu yang awalnya berkutat sebagai perkara rumah tangga menjadi urusan berbangsa dan bernegara.
Ia diduga kuat lompat pagar trias politika.
Hasilnya kita sudah tahu semua: tiket itu dipakai juga oleh si sulung.
***
Belakangan saya ngobrol dengan sejumlah kawan dan tak sedikit yang melemparkan julukan yang 'ngeri-ngeri' terhadapnya, yang kalau saya sebut di sini pasti disetip oleh FB.
Tapi saya tak pedulikan apa yang menyebabkan ia berubah sedemikian rupa seperti diherani oleh banyak orang itu, sebab bagi saya, ia tidak berubah.
Itulah aslinya.
Manusia melihat apa yang ditampilkan mata tapi banyak yang tidak melihat apa yang ditunjukan hati orang!
Pada 16 Desember 2022, saya berpandangan begini: "Di tangannya, kekuasaan/jabatan bak memiliki sifat magis-religius. Ia seolah mendapatkan ‘wahyu’ dari langit sebagai manusia yang harus memimpin Indonesia. Ia orang baik yang segala-galanya harus baik. Ia penghubung mikrokosmos manusia dan makrokosmos para dewa."
***
Kita akhiri sejenak misuh-misuh dinasti politik, what's next?
Kalau ada yang tidak netral, lantas apa yang akan terjadi?
Fundraising dan mobilisasi sumber daya negara untuk kepentingan salah satu pasangan calon adalah kemungkinan kuat yang akan terjadi sebagai akibat langsung dari ketidaknetralan itu.
Baunya sudah tercium, polanya bisa ditebak.
Bapak, kepala negara dan kepala pemerintahan; anak, cawapres; paman, Ketua MK; bekas wamen BUMN, ketua tim kampanye; 'saudara ketemu gede' yang Menteri BUMN, siarkan dukungan; Menkominfo, relawan garis lurus...
Betul, paslon lain juga dihuni pejabat aktif, tapi masalahnya siapa yang ada di pucuk dan berwenang mengendalikan sumur-sumur logistik yang paling banyak 'duit nganggurnya' untuk dikeruk sebagai logistik kampanye dalam waktu sesingkat-singkatnya (100 harian menuju pencoblosan).
Berkuasa butuh pemilu, pemilu butuh menang, menang 'butuh' curang, curang butuh uang.
IT, digital, big data, 'serangan fajar', dsb memang instrumen canggih untuk kampanye dan 'akuisisi suara', tapi kalau tidak ada duitnya, bagaimana, dong?
Realistis saja.
Sebelumnya saya sudah singgung aneka bansos senilai total Rp13,39 triliun yang bakal disebar dan waktunya berimpitan dengan pelaksanaan kampanye (Kontan, 26 Oktober 2023), yang berpotensi disusupi pesan-pesan 'orang baik'.
Saya telisik laporan keuangan terbaru sejumlah BUMN cantik, khusus saya cermati pos laba ditahan (retained earnings) yang belum ditentukan penggunaannya, dan saya dapati sumur-sumur kehidupan berikut ini:
⁃ BRI: Rp207,2 triliun (LK 30 Sep 2023)
⁃ Bank Mandiri: Rp175,9 triliun (LK 30 Sep 2023)
⁃ PLN: Rp110,9 triliun (LK 30 Juni 2023)
⁃ BNI: Rp99,1 triliun (LK 30 Sep 2023)
⁃ Telkom: Rp98 triliun (LK 30 Sep 2023)
⁃ Pertamina: US$3,8 miliar/Rp57,1 triliun (LK 31 Des 2022)
⁃ Pupuk Indonesia: Rp15,21 triliun (LK 31 Des 2022)
⁃ Antam: Rp13,5 triliun (LK 30 Sep 2023)
⁃ PGN: US$198,4 ribu /Rp2,9 triliun (LK 30 Sep 2023)
Saya pun dengar kasak-kusuk soal ini sedang hangat diperbincangkan di kalangan birokrat dan BUMN.
Tentu saja arahnya adalah bagaimana mengail uang itu untuk logistik kampanye dengan aman untuk sekarang dan masa depan.
Iya, kalau semua mulus. Tapi, kalau ke depan jadi perkara, siapa yang tanggung jawab!
Inilah momen politik yang sesungguhnya. Tak ada lawan abadi, tak ada kawan abadi.
Yang ada adalah: main aman abadi.
Maka RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) adalah gunung batu tempat berlindung yang kiranya dianggap paling aman, terkhusus ada semacam adendum yang menyetujui klausul bahwa tanggung jawab di masa depan tidak dikenakan kepada pribadi-pribadi pengurus (direksi, komisaris).
Penggunaan uang itu (bungkusnya untuk biaya operasional, investasi dsb padahal untuk kebutuhan kampanye) butuh RUPS; RUPS butuh pengurus; sementara soal teknis transaksi dan pelaporan keuangan bisa diatur kemudian.
Mungkin bakal ada gelombang besar pergantian pemain di jajaran pengurus BUMN untuk melancarkan pembangunan gunung batu perlindungan tadi.
Semua rantai proses itu ibarat 'iblis baru melindungi iblis lama dan iblis yang kemudian melindungi iblis yang sekarang'.
Sebab BUMN sangat berpotensi sapi perah, siapa yang menguasai BUMN sama seperti siapa menguasai pemilih muda dan Jawa, adalah kemungkinan besar pemenangnya.
Ayo, jangan mudah terbuai iklan 'orang baik dan sederhana', bersihkan dulu stadion, tangkap tikus-tikusnya, awasi sumur-sumur kehidupan tadi.
Salam.