[PORTAL-ISLAM.ID] TEL AVIV - Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu disebut stres berat akibat kegagalan keamanan yang memungkinkan terjadinya serangan Hamas pada 7 Oktober lalu. Netanyahu juga dinilai salah perhitungan dengan menyatakan akan memikul tanggung jawab keamanan atas Jalur Gaza setelah perang melawan Hamas berakhir.
Seperti dilansir Al Jazeera dan Politico, Rabu (8/11/2023), pernyataan itu disampaikan oleh mantan PM Israel Ehud Olmert yang menjabat periode tahun 2006 hingga tahun 2009 lalu, dari Partai Kadima yang beraliran liberal.
Olmert, dalam wawancara dengan media terkemuka Politico, berpendapat bahwa Netanyahu berada dalam kondisi 'nervous breakdown' saat ini karena berusaha menghindari pemecatan dari jabatannya karena gagal menjaga keamanan nasional Israel dalam serangan Hamas sebulan lalu.
"Dia (Netanyahu) menciut. Dia hancur secara emosional, itu sudah pasti. Maksud saya, sesuatu yang buruk terjadi padanya," ucap Olmert dalam wawancara tersebut.
Olmert juga menyebut Netanyahu kini menjadi 'bahaya' bagi Israel. "Setiap menit dia menjabat Perdana Menteri, dia menjadi bahaya bagi Israel. Saya bersungguh-sungguh. Saya yakin Amerika memahami dia sedang dalam kondisi buruk," ujarnya, merujuk pada Netanyahu.
Lebih lanjut, Olmert menilai bahwa Israel saat kini menyimpang dari jalur strategisnya. Dia merujuk pada komentar Netanyahu baru-baru ini, yang menyebut Israel akan memikul 'tanggung jawab keseluruhan' atas keamanan Jalur Gaza untuk periode yang tidak terbatas, setelah perang melawan Hamas berakhir.
Menurut Olmert, pendekatan yang diambil Netanyahu itu salah karena sama saja kembali ke tahun 2005 lalu, ketika Israel menjalankan kekuasaan militer atas Jalur Gaza.
Olmert, dalam pernyataannya, menegaskan bahwa prioritas seharusnya adalah merundingkan tujuan akhir dengan komunitas internasional, yang melibatkan berlanjutnya pembicaraan soal pembentukan negara Palestina, daripada mengambil langkah mundur melalui pengawasan militer penuh atas Jalur Gaza.
"Bukan kepentingan Israel untuk mengawasi keamanan Gaza," tegasnya.
"Menjadi kepentingan kami untuk dapat mempertahankan diri dengan cara yang berbeda dibandingkan sebelum serangan 7 Oktober. Tapi untuk menguasai Gaza lagi? Tidak," ujar Olmert dalam wawancara tersebut.
Dalam wawancara dengan Politico, Olmert memperingatkan bahwa kesabaran sekutu-sekutu Barat terhadap Israel semakin menipis karena kegagalan Netanyahu dan jajaran menterinya untuk menguraikan rencana realistis bagi pemerintah Gaza pasca-Hamas.
"Ada banyak hal yang bisa kita lakukan, tapi kita tidak bisa melakukan semua hal yang kita inginkan," ucap Olmert mengingatkan.
Dia juga mengeluhkan kurangnya pemikiran yang bijaksana dalam kabinet perang Israel saat ini.
Sementara itu, angka dukungan untuk Netanyahu mencapai titik terendah sejak serangan Hamas terjadi.
Jajak pendapat pada pertengahan Oktober menunjukkan bahwa 76 persen warga Israel menginginkan Netanyahu mundur dari jabatannya, sedangkan hanya 18 persen responden yang berpendapat dia tidak harus mundur.
Surat kabar Israel yang dikenal pro-Netanyahu, Israel Hayom, bahkan menyerukan PM Israel itu mundur dari jabatannya pada Rabu (8/11/2023) ini.
"Ambillah tanggung jawab dan terimalah bahwa tanggung jawab ada di tangan Anda," tulis Israel Hayom dalam seruannya.
(Detik)