HORROR AT GAZA HOSPITAL
“Calm down, you arrived. Calm down…. Close the curtains, please!” (“Tenang, kamu sudah sampai. Tenang…. Tolong tutup tirainya!”), seru gadis muda itu mencoba menenangkan korban yang baru diturunkan dari ambulance.
“Pulse?” tanyanya menanyakan detak jantung korban pada perawat yang membantunya.
“…….”
Semua tertunduk sejenak. Innalillahi wa innailaihi rojiun.
“May Allah have mercy on him (Semoga Allah merahmatinya)," ujarnya pelan, setelah mengetahui detak jantung korban yang baru datang tak terdeteksi lagi. “He is a syuhada. We envy him (Dia adalah seorang syuhada. Kami iri padanya),” lanjutnya.
Satu lagi seorang syuhada menjemput kesyahidan di depan matanya, di tengah suasana chaos Al-Shifaa Hospital. Entah sudah berapa banyak syuhada yang syahid saat ia mencoba memberikan pertolongan.
Namanya Sara Al Saqqa, seorang dokter bedah muda, lulusan Fakultas Kedokteran Islamic University Gaza dan mendapatkan gelar masternya di Queen Mary University of London.
Berkulit putih, cantik, dengan sorot mata cerdas penuh keberanian. Dedikasinya pada penduduk Gaza, pada tanah kelahirannya, pada kemanusiaan, tak diragukan.
Semua terekam dalam sebuah film dokumenter yang tayang di Aljazeera English berjudul “Horror at Gaza Hospital”. (link: https://www.youtube.com/watch?v=NFObv41XvTw)
Film karya Tierney Bonini dan Real Gaza Productions, yang dibuat di tengah perang Taufan Al Aqsha.
Film itu mendokumentasikan kehidupan nyata di dalam Al-Shifaa Hospital yang menjadi tempat pengabdiannya, berjibaku antara hidup dan mati setiap detiknya.
Ia berusaha menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa yang bisa diselamatkan. Sementara hidupnya sendiri pun terancam akibat pemboman brutal z*o*is yang menargetkan rumah sakit dan para dokter.
Ada satu adegan menyentuh, saat ia mencoba menghubungi ibunya yang mengungsi ke wilayah selatan G*za, namun tak ada sinyal di HP-nya. Helaan nafas beratnya yang terekam sangat dekat dengan kamera, membuat saya menitikkan air mata.
“Ya Rabb, lindungilah ia dan keluarganya. Berkahilah hidupnya. Kalaupun akhirnya ia syahid, jadikanlah sebagai syuhada,” saya langitkan doa untuknya.
Ingin rasanya saya berteriak pada dokter-dokter di seluruh dunia, “Dokteeer, kalian ada di mana saat sejawatmu berjibaku antara hidup dan mati di G*za?”
Dokter dan jurnalis yang bertugas di tengah medan perang adalah profesi yang dilindungi Konvensi Jenewa. Namun itu tidak terjadi di Palestine, dokter dan jurnalis justru menjadi incaran z*o*is.
Lebih biadab lagi, beredar surat terbuka yang ditandatangan 100 dokter I*r*el yang isinya mendukung pengeboman RS Al Syifa, rumah sakit terbesar di G*za.
Entah terbuat dari apa hati manusia-manusia terlaknat itu. Tak ada empati sama sekali melihat ribuan korban berjatuhan yang mayoritas adalah anak-anak dan wanita. Mereka melanggar segala etika dan sumpah profesi.
Seorang dokter akan mengucapkan sumpah profesi yang bersumber dari Sumpah Hippokrates. Isinya adalah janji untuk membaktikan hidup guna kepentingan perikemanusiaan. Akan berikhtiar sungguh-sungguh untuk menyembuhkan, tanpa memandang ras, agama, status sosial dan sebagainya.
Di I*r*el, tak hanya pemimpin dan tentara, bahkan dokter pun tak punya etika!
Jakarta, 7/11/2023
(By Uttiek)