Majelis Kehormatan Tak Bisa Menganulir Putusan MK, Tapi...
JAKARTA – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dinilai tidak memiliki kewenangan menganulir putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.
Dengan demikian, bila menemukan adanya kecurangan dalam sebuah putusan, MKMK tidak bisa menghilangkan legalitas putusan Mahkamah Konstitusi itu.
“Putusan hanya hilang legitimasinya, bukan dengan legalitasnya,” kata I Dewa Gede Palguna, pakar hukum tata negara dari Universitas Udayana yang juga pernah menjadi hakim konstitusi, kemarin Jumat (3/11/2023).
Putusan MKMK, kata Palguna, bisa digunakan sebagai landasan hukum untuk meninjau kembali putusan MK yang dipermasalahkan dengan cara mengajukan gugatan lagi.
Sebab, berdasarkan Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, putusan MK hanya bisa dianulir oleh putusan lain atas permohonan yang diajukan masyarakat.
Karena itu, pihak yang berkeberatan dengan putusan MK dapat mengajukan gugatan menggunakan dalil konstitusional baru, termasuk putusan MKMK itu.
“Ini cara yang paling konstitusional menurut saya,” ujar mantan hakim MK ini.
Pernyataan itu disampaikan Palguna untuk menanggapi adanya kemungkinan MKMK dapat mengubah putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menetapkan syarat usia capres-cawapres minimal 40 tahun dan pernah menjabat kepala daerah.
Palguna kemarin hadir sebagai saksi ahli dalam sidang MKMK yang dipimpin Jimly Asshiddiqie yang memeriksa dugaan pelanggaran kode etik hakim Mahkamah Konstitusi.
Dugaan pelanggaran etik hakim Mahkamah Konstitusi berhubungan dengan penanganan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Perkara itu secara khusus menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu yang mengatur syarat batas usia bagi capres dan cawapres.
Dari persidangan inilah bunyi Pasal 169 huruf q yang semula hanya membatasi usia capres dan cawapres minimal 40 tahun kemudian mendapat tambahan frasa “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum”.
Putusan itu menimbulkan polemik. MK dituding memberikan karpet merah kepada putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai cawapres.
Demi mengakhiri polemik yang meluas di masyarakat ini, MK akhirnya menindaklanjutinya dengan membentuk MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) yang dipimpin Jimly Asshiddiqie (mantan Ketua MK yang pertama).
Gugatan Baru
Gugatan baru ini yang bisa "membatalkan" putusan MK sebelumnya. Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengenai batas usia capres dan cawapres.
Melalui Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 yang diajukan BEM Unusia, mereka meminta MK mengoreksi Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menetapkan batas usia capres-cawapres paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.
BEM Unusia juga meminta Ketua MK Anwar Usman tidak dilibatkan dalam persidangan perkara tersebut.
Pemohon juga meminta frasa "berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota" diubah menjadi "hanya berpengalaman sebagai kepala daerah di tingkat provinsi".
Sidang uji materi Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 ini dijadwalkan pada 8 November mendatang.
"Kami meminta kepada Yang Mulia agar tidak mengikutsertakan Anwar Usman dalam perkara tersebut supaya tidak berulang pelanggaran benturan kepentingan dalam lingkungan Mahkamah Konstitusi," kata perwakilan BEM Unisia sekaligus pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim MK, Tegar Afriansyah, di Gedung MK II, Jakarta, Kamis lalu.
Tegar mengatakan Anwar Usman diduga kuat melakukan pelanggaran berupa benturan kepentingan terhadap Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dengan demikian, pelapor menilai Anwar tidak sepatutnya diikutsertakan dalam sidang perkara tersebut.
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mengatakan gugatan uji materi yang diajukan BEM Unusia itu bisa menjadi pertimbangan putusan MKMK.
"Saya sudah puji bagus itu (gugatan) dan itu bisa jadi leading case (kasus terkemuka) karena baru pertama kali ada permohonan pengujian undang-undang yang baru diputus, yang baru berubah setelah putusan MK diuji lagi," kata Jimly, kemarin. "Bisa saja putusan MK yang akan datang memutus pengujian undang-undang pascaputusan itu."
Ihwal dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi, kata Jimly, MKMK akan menyampaikan putusan pada 7 November mendatang, pukul 16.00 WIB.
Keputusan MKMK itu tentu berdampak pada bakal pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
"Niat kami untuk menciptakan kepastian karena pada 8 November adalah jadwal perubahan bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden. Jadi, sebelum 8 November ada keputusan MKMK," ujarnya.
[Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 4 November 2023]