Andai Ada Capres Yang Tak Mau Hadir

Oleh: Erizal

Makan siang di Istana antara Presiden Jokowi dengan tiga Capres tempo hari, lumayan bisa menurunkan tensi politik yang meninggi karena beberapa situasi. Beberapa situasi itu bisa terinterupsi dengan peristiwa makan siang enak, yang penuh keakraban dan pecah itu.

Harus diakui, pandai betul Presiden Jokowi mengendalikan situasi. Auranya masih ada. Pulungnya belum benar-benar pergi, karena berbagai peristiwa yang terjadi belakangan. Wahyu Kedaton atau Wahyu Keprabon, masih ada dalam diri beliau. Roh presiden belum benar-benar pergi dari Jokowi.

Tak terbayang, kalau ada salah seorang Capres yang tak hadir atau tak mau hadir makan siang di Istana itu, misalnya. Jokowi pasti akan grogi atau gelisah, secara pribadi. Kursi presidennya bisa bergoyang, meskipun bukan kursi goyang. Suasana di istana, bisa tiba-tiba menjadi gelap.

Entah akan berlanjut atau batal makan siang di Istana itu? Tafsir politiknya pasti akan semakin liar dan macam-macam. Pokoknya, buruk dan tak enak. Sedangkan hadir ketiganya saja tafsir politiknya sudah liar dan macam-macam. Dari posisi duduklah, juga ketika berjabatan tangan.

Tapi, apa pun tafsirnya, makan siang di Istana itu, adalah kabar baik buat peralihan presiden nanti. Akan mulus, baik, dan sesuai jadwal. Tak akan muncul yang aneh-aneh. Mungkin terjadi kontraksi di sana-sini, tapi itu gejala yang biasa karena akan bergantinya kepemimpinan.

Oh, itu kan hanya layar depan? Layar belakang, tak ada yang tahu. Justru layar depan itu yang penting. Layar belakang, terserah saja. Situasi saat ini memburuk salah satunya adalah akibat adanya pihak-pihak yang menampilkan secara serampangan layar belakang menjadi di depan. 

Layar belakang itu sama-sama tahu kita. Mana pula ada yang bersih, tanpa kecuali? Apalagi ini politik. Bukankah kejahatan paling sial itu ialah kejahatan yang "ketahuan"? Kata "ketahuan" ialah layar belakang yang jadi layar depan. Makan siang di Istana itu penting untuk menjaga layar depan. Dan mustahil semua sekadar pura-pura.

Kenapa tak sekalian saja Cawapresnya diajak? Itu jugalah kelihaian Presiden Jokowi. Karena ia juga tak akan mengajak Wapres. Wapres itu adalah simbol. Yang penting itu Pres (Capres). Cawapres yang berencana muluk-muluk kerap pecah kongsi tak lama setelah dilantik. Apalagi Cawapres yang hebat. Ketum Partai, misalnya.

Bukan mengada-ada. SBY-JK tahun 2004-2009 adalah contoh. Kalau di Pilkada, baik Pilwakot atau Pilbup maupun Pilgub sudah kerap terjadi. Cawapres yang terlalu bersinar, juga tak baik. Bukan bermaksud menutupi kontroversial perihal Gibran, tapi Gibran pun belum tahu bisa otomatis akur. Apa pun bisa berubah, tiba-tiba.

Yang juga bisa, malah harus, berubah tiba-tiba itu mestinya dari para pendukung Capres yang ngotot-ngototan mendukung Capresnya, malah sampai saling hujat, serang, putus silaturahmi, tapi para Capres sendiri makan siang enak di Istana. Kalau tak mau berubah juga, begitulah selamanya. Capres enak, tapi Anda menderita.

10/11/2023

Baca juga :