Tamparan Kasus Korupsi Menteri Pertanian
KASUS korupsi yang menyeret Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo tak hanya mempermalukan Partai NasDem. Kasus yang sama sejatinya menguak penyakit kronis dalam pemerintahan Joko Widodo. Penanganan perkara ini pun masih menyisakan syak wasangka kepada KPK.
KPK, pada Selasa pekan lalu, menerbitkan surat perintah penyidikan atas perkara dugaan jual-beli jabatan di Kementerian Pertanian. Tiga orang dikabarkan telah menjadi tersangka, yakni Menteri Syahrul Yasin Limpo; Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono; dan Direktur Alat Pertanian Kementerian Pertanian, Muhammad Hatta. Ketiganya dijerat Pasal 12 e Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasdi dan Hatta diduga mengumpulkan uang saweran dari para pejabat di lingkungan Kementerian Pertanian untuk kepentingan Syahrul dan keluarganya. Temuan puluhan amplop yang berisi duit miliaran rupiah saat KPK menggeledah rumah dinas Syahrul pada 28 September lalu menguatkan dugaan praktik jual-beli jabatan di kementerian tersebut.
Praktik jual-beli jabatan rawan terjadi ketika seleksi calon pejabat pemerintah berlangsung tertutup dan mengabaikan sistem meritokrasi. Hal yang lebih berbahaya lagi, seseorang yang dimintai setoran ketika hendak mengisi jabatan tertentu kemungkinan besar mencari duit dengan cara korupsi juga. Maka, ibarat virus, korupsi jual-beli jabatan mudah menyebar dari level teratas birokrasi hingga ke berbagai lapisan di bawahnya.
Selain mencoreng wajah NasDem, kasus yang menyeret Syahrul Yasin Limpo ini menjadi tamparan keras bagi kepemimpinan Jokowi. Syahrul merupakan menteri keenam yang terseret kasus korupsi dalam dua periode pemerintahan Jokowi. Sebelumnya, menteri di kabinet Jokowi yang terjerat kasus korupsi adalah Idrus Marham, Imam Nahrawi, Edhy Prabowo, Juliari Batubara, dan Johnny G. Plate. Semua itu membuktikan bahwa Jokowi gagal memenuhi janjinya—yang berulang-ulang disampaikan—untuk menghadirkan pemerintahan dan pejabat publik yang bersih.
Pengungkapan kasus korupsi di Kementerian Pertanian seharusnya menjadi pertanda positif di tengah terpuruknya kinerja KPK. Sayangnya, meski sudah mengumbar hasil penggeledahan di rumah Syahrul, KPK terkesan kurang transparan dalam menangani kasus ini. Lihat saja, pengusutan kasus ini sudah dimulai pada 14 Juni lalu. Pekan lalu, perkara ini telah masuk ke tahap penyidikan yang—berdasarkan tradisi lama di KPK—semestinya sudah jelas siapa saja tersangkanya. Faktanya, hingga kini, KPK belum secara terbuka mengumumkan nama para tersangka. Media hanya mendapat bocoran dari orang dalam KPK, yang disertai konfirmasi singkat dari juru bicara komisi tersebut.
Sikap KPK yang menunda-nunda pengumuman nama para tersangka memicu kecurigaan soal tarik-menarik kepentingan politik di balik kasus ini. Pada tahun politik, menjelang Pemilu 2024, dugaan adanya politisasi kasus korupsi sulit ditepis. Apalagi KPK secara beruntun telah menetapkan dua kader NasDem sebagai tersangka kasus korupsi. Sebelum menjerat Syahrul, KPK mentersangkakan politikus NasDem lainnya, Johnny G. Plate. Bekas Menteri Komunikasi dan Informatika itu kini ditahan sebagai tersangka kasus proyek base transceiver station (BTS).
Kita tahu, dalam hal pencalonan presiden pada 2024, Partai NasDem—yang didirikan Surya Paloh—berseberangan dengan Presiden Joko Widodo. NasDem bersama Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Kebangkitan Bangsa bergabung dalam Koalisi Perubahan yang mengusung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Adapun Jokowi belakangan ini sering memberi sinyal mendukung Prabowo Subianto yang diusung Koalisi Indonesia Maju. Sebelumnya, Jokowi sempat mengisyaratkan dukungan bagi Ganjar Pranowo yang dijagokan poros koalisi pimpinan PDI Perjuangan.
Untuk menepis kecurigaan, KPK tak cukup membantah tudingan telah mempolitisasi kasus korupsi. Komisi antikorupsi harus lebih transparan dalam mengungkap kasus yang melibatkan politikus Partai NasDem dan partai lain yang dipersepsikan sebagai "oposisi" pemerintah. Pada saat yang sama, KPK tidak boleh mendiamkan kasus korupsi yang diduga melibatkan politikus partai yang masih setia berkerumun di sekitar Jokowi.
(Sumber: Editorial Koran Tempo, Senin, 2 Oktober 2023)