Rencana tahap awal IsraeI dalam upaya "normalisasi" dengan dunia Arab adalah mensterilkan Gaza lewat serbuan mendadak dan kemudian menyerahkannya kepada Mesir untuk "di-deradikalisasi".
Bisa juga diserbu dari 2 arah. Jika berhasil, Gaza akan diinstal dengan suatu pemerintahan yang impoten (pemerintahan boneka).
Setelah tak ada lagi "duri dalam daging", yaitu kelompok perlawanan Gaza, dan negara Arab terutama Arab Saudi mau membuka hubungan diplomatik dengan Tel Aviv, maka Amerika Serikat akan menyetujui kemerdekaan Palestina di PBB sebagai sebuah negara sekuler Arab dengan kemampuan militer terbatas.
Hanya saja belum disepakati siapa yang akan mengelola kompleks Masjidil Aqsa, meski peta Tepi Barat akan dikembalikan seperti sebelum 1967 dan membuat ratusan ribu pemukim yahudi digusur dari pemukiman ilegal atau mengurus izin tinggal di Palestina. Untuk luas wilayah sedikit lebih baik daripada peta yang diusulkan era Donald Trump.
Jika Palestina merdeka sesuai skenario ini, maka "negara baru Palestina sekuler" ini akan disusui dana sangat besar untuk pembangunan oleh Amerika dan Barat. IsraeI juga tetap memiliki kesempatan memiliki tanah di negara Palestina lewat skema investasi, termasuk mendikte pemerintahan yang terbentuk.
Tetapi Gaza telah mencium rencana ini, lalu memilih "nothing to lose", yaitu lebih dulu menyerbu IsraeI untuk mengetes kemampuan lawan.
Ternyata serangan mendadak Brigade Al Qassam Hamas 7 Oktober lalu melebihi ekspetasi dan mengungkap kelemahan militer IsraeI yang tidak sehebat propagandanya, ternyata kehebatan militer Israel cuma isapan jempol. Kemungkinan kerugian militer IsraeI 3x lipat dari yang mereka akui (300-400 personel).
IsraeI yang kesal mengubah rencana untuk mengosongkan Gaza dan ingin penduduknya pergi ke Sinai, Mesir. Rencana yang membuat Mesir marah, serta Saudi membatalkan sepenuhnya proses normalisasi.
Kira-kira begitu teori sementara dari kepingan-kepingan puzzle baik bersumber pihak Hamas, Mesir, Amerika dan IsraeI.
(Pega Aji Sitama)