Pencawapresan Gibran diperkirakan akan membuat Prabowo rugi besar.
Pertama, suara perolehan Prabowo diperkirakan akan merosot. Karena arus penolakan dari masyarakat pada Gibran sangat besar. Penolakan bukan saja datang dari kader, tetapi juga dari masyarakat pemilih partai koalisi: Golkar, Demokrat, PAN, dan termasuk dari Gerindra sendiri. Penolakan dari masyarakat bahkan jauh lebih buruk dari kader.
Ada dua alasan yang mendasari itu. Pertama, persyaratan Gibran sebagai cawapres dinilai manipulatif dan melanggar konstitusi. Masyarakat sangat tidak suka, bahkan membenci, terhadap hal-hal seperti ini. Kedua, Gibran dianggap belum pantas menjadi cawapres karena masih “hijau”, tetapi dipaksakan oleh Jokowi dan keluarga, melalui Prabowo.
Berdasarkan survei Ipsos, pencawapresan Gibran menurunkan suara Prabowo 6,2 persen dibandingkan kalau Prabowo berpasanganan dengan Erick Thohir.
Kalau dibandingkan dengan perolehan suara dari partai koalisi (Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN) pada 2019 yang mencapai sekitar 39,5 persen, efek pencawapresan Gibran membuat suara Prabowo merosot 8,2 persen.
Kemungkinan besar, karena suara Golkar, Demokrat dan PAN anjlok dan beralih ke partai lain non Koalisi Indonesia Maju.
Kerugian kedua, nama Prabowo akan tercemar, disejajarkan dengan Jokowi yang mempunyai citra buruk di masyarakat. Jokowi dinilai melanggar banyak peraturan perundangan-undangan, termasuk konstitusi. Antara lain, UU IKN, UU Cipta Kerja, UU Kesehatan.
Menang atau kalah dalam pilpres ini, Prabowo rugi besar. Nama tercemar. Bukankah nama itu segala-galanya bagi manusia, jauh lebih penting dari jabatan sebesar apapun? Seperti pepatah bilang, “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan bilang, manusia mati meninggalkan nama.”
Oleh: Anthony Budiawan
(Managing Director Political Economy and Policy Studies)