"Pemilu butuh menang, menang butuh curang, curang butuh uang!"

Catatan Agustinus Edy Kristianto:

Politik kita terlalu 'dramatis', lebay, dan menye-menye.

Kita tak butuh suasana melankolis ala banteng untuk menyikapi masalah sekrusial elite korup dan munafik yang mendorong dinasti politik, di satu sisi; dan di sisi lain kemiskinan masyarakat.

Majalah Tempo (30/10/2023) menabuh 'gong penutup' isu dinasti politik dengan membeberkan "cawe-cawe" Presiden Jokowi untuk mendukung Gibran ikut pemilu 2024 (lihat tabel). 

Bahkan ditulis, Presiden Jokowi "melalui Pratikno meminta Partai Gerindra segera mendeklarasikan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka" dan "menginstruksikan Kementerian Komunikasi dan Informatika memantau sentimen terhadap Gibran".

Baik Pratikno (Mensesneg) maupun institusi Kemenkominfo adalah perangkat negara yang digaji APBN, yang sebagian besar diperoleh dari pajak.

Apa pentingnya perangkat negara ngurusin seorang Gibran, jika bukan karena kebetulan bapaknya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Masih banyak anak muda Indonesia yang jago bikin martabak.

Logika saja!

Sebelumnya kita disodori fakta Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya suci itu ternyata diselimuti oleh "kosmologi negatif dan keganjilan," meminjam istilah hakim konstitusi Arief Hidayat (dalam dissenting opinion Perkara No. 90/PUU-XXI/2023).

RPH itu untuk memutus perkara uji materiil UU Pemilu yang pada akhirnya diakui atau tidak menjadi pintu Gibran bisa ikut Pemilu 2024.

Apa mau dikata. 

Begitulah kenyataan politik.

Dinasti politik memang tidak dilarang secara formal dan banyak terjadi di berbagai negara, tapi yang pamannya memimpin RPH yang memutus pasal yang memuluskan sang keponakan dan bapaknya adalah kepala negara yang memerintahkan perangkat negara untuk cawe-cawe demi sang anak, CUMA TERJADI pada pemerintahan Jokowi sekarang.

Di situ 'uniknya'

*

Mengapa pakde bisa begitu? 

Dalamnya palung hati, siapa yang tahu. 

Tapi saya menduga begini: "Perpaduan antara kandungan motif internal (ambisi pribadi) dan perhitungan logistik yang cukup untuk berperang, membuatnya terlihat percaya diri untuk mengacak-acak lapangan tengah permainan, yang bagi sebagian orang dilihat sebagai kacang lupa kulit (berkhianat)."

https://www.facebook.com/1311891821/posts/pfbid07Ui9PbgE4HZJMKc168qw9DmgyGWhzm4CtKDD3mhT1HDJVqrAUkJBETW6dzdN3oEhl/?mibextid=cr9u03

Yap, pemerintahan Jokowi sudah terlalu dalam bersekutu dengan pihak China dan ia beserta rombongan di sekeliling tidak ingin pemilu nanti bikin berantakan semua rencana bisnis.

Ada konsesi nikel dan berbagai sumber daya alam lainnya.

Ada ekosistem bisnis kendaraan listrik.

Ada proyek IKN dan tetek-bengek infrastruktur lainnya.

Kabar terbaru, proyek IKN Nusantara makin besar sedot APBN (Kontan, 30/10/2023). 

Tol bawah laut akan dibangun 2025. Total anggaran IKN Rp466 triliun dan tiap tahun APBN dialokasikan yang jumlahnya makin bengkak: tahun 2022 Rp5,4 triliun, tahun 2024 Rp40,6 triliun.

Maka simpel: keberlanjutan adalah wajib bagi mereka-mereka itu.

Keberlanjutan macam apa, tepatnya?

Keberlanjutan total, keberlanjutan tanpa koreksi, keberlanjutan tanpa gonta-ganti personel kunci, keberlanjutan tanpa revisi kontrak, keberlanjutan rekanan/vendor, keberlanjutan komposisi parlemen agar memudahkan ketok anggaran dan mengakali pengawasan, keberlanjutan tanpa evaluasi pengurus BUMN, keberlanjutan nafas organisasi relawan pendukung, keberlanjutan cicilan Lexus orang dekat raja dan seterusnya.

*

Saya tidak menuduh pribadi per pribadi. 

Atau siapapun.

Tapi realistis saja: pemilu butuh menang, menang butuh curang, curang butuh uang!

Tentu saja siapa yang sedang berkuasa berada beberapa langkah di depan garis start, sebab mengendalikan sumber daya yang bisa dikonversi dengan "logistik".

Logistik buat apa?

Ya, buat mengakuisisi suara.

*

Persoalan makin rumit kalau orang bertanya: pilih siapa?

Pertanyaan balik, memangnya siapa saja pemilihnya?

DPT Pemilu 2024 sebanyak 204,8 juta pemilih. 

Banyak yang bilang lebih dari 50% (ada yang bilang 64%) adalah generasi muda (milenial, gen z). 

Pada Pemilu 2019, menurut KPU, si milenial cs itu jumlahnya 35%-40% dari DPT.

Siapakah milenial itu? 

Kategori milenial yang umum diterima adalah mereka yang lahir 1980-an, 1990-an, awal 2000. 

CSIS memakai kategori 17-29 tahun. Litbang Kompas 17-37 tahun. Mereka adalah Y Generation, Generation Me, Echo Boomers, yang pada 2016 diteliti perilaku konsumsinya secara khusus oleh produsen gawai dan teknologi, Ericsson.

Bagaimana sekarang?

Bisa jadi mereka ada di dalam putaran bisnis prostitusi online yang omsetnya dalam tiga bulan Rp91 triliun atau terjerat pinjol yang total penyaluran per bulannya Rp18 triliun (riset CNBC Indonesia).

Mereka juga bagian dari 10,47 juta investor pasar modal Indonesia (per 19 Oktober 2023), yang didominasi oleh usia di bawah 30 tahun dan 30-40 tahun dengan jumlah 81,02%, yang mayoritasnya lulusan SMU (56,54%).

Mereka mungkin juga bagian dari sekira 19 juta anak muda di atas 15 tahun yang mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk lebih dari 15 tahun yang mengalami depresi, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018.

So, persoalan bukan cuma di kualitas dan integritas para calon tapi juga kualitas dan kondisi pemilih, yang dipengaruhi perilakunya oleh banyak faktor.

Bagaimana mau bicara pemilih cerdas dan ideologis kalau sehari-hari pusing karena pinjol dkk itu.

Ketimpangan sosial-ekonomi, permasalahan mental, kehidupan rohani yang kering adalah belukar perkara yang menjerat sebagian besar pemilih muda kita.

*

Oleh karena itu, wajar jika dinasti politik harus disorot, sebab di dalamnya terkandung besarnya potensi penyalahgunaan kekuasaan untuk memenangkan pemilu dengan berbagai teknik dan cara untuk mengakuisisi suara sah pemilih, yang kualitasnya seperti saya uraikan tadi.

Teknologi-informasi, yang katanya cermin era digital-modern, di tangan para penyeleweng yang haus kekuasaan adalah alat yang paling efektif untuk melakukan kecurangan, pemutarbalikkan fakta, cuci otak dsb.

Algoritma medsos, kotak pencarian Goxgle dan sejenisnya adalah beberapa medan yang saya dengar sedang "diutak-atik" untuk mengarahkan pemilih muda ke pilihan tertentu.

Ada pergeseran dari penguasaan redaksi media massa ke penguasaan medsos.

Serangan udara menjadi kunci dalam pemilu saat ini karena dianggap cocok menyasar pemilih muda perkotaan yang 'ruwet' tapi melek teknologi dan lumayan 'terdidik'.

Begitulah cara pemilu bekerja.

Dengan waktu yang mepet (106 hari lagi) dan kualitas pemilih yang saya uraikan tadi, penting untuk secara langsung mempertanyakan bukan visi-misi apa yang akan para calon itu lakukan melainkan apa yang secara konkret tidak akan mereka lakukan.

Misalnya:

Tidak akan menggunakan kekuasaan yang ada padanya untuk mempengaruhi yudikatif, menggunakan lembaga eksekutif, untuk memuluskan tujuan politik anak/keluarganya.

Mereka yang terbukti melakoni hal semacam itu, menurut saya, adalah termasuk kategori daftar coret paling atas untuk disingkirkan dalam kertas suara.

Salam.
Baca juga :