Satu saat Sayidina Umar bin Khatab bersama beberapa orang berkendara berkeliling pingiran Madinah, dalam perjalanannya mereka bertemu dengan Khaulah binti Tsa’labah. Khaulah menghentikan perjalanan Umar bin Khatab, sejurus kemudian ia memberikan banyak nasihat dan didengarkan dengan seksama oleh Umar.
Ia berkata, “Wahai Umar, engkau dahulu diundang dengan Umair, lalu kau dipanggil Umar, dan kini engkau diundang dengan sebutan Amirul Mukminin. Takutlah engkau kepada Allah, wahai Umar! Sesungguhnya orang yang yakin dengan kematian, maka ia takut kehilangan. Orang yang yakin dengan hisab, ia takut pada azab.”
Umar bin Khathab terus mendengarkan nasihat Khaulah, hingga ada yang mengatakan kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau berhenti hanya untuk mendengarkan ucapan perempuan tua ini padahal apa yang dia ucapkan engkau lebih mengetahui?”
Mendengar ucapan tersebut Umar bin Khathab menjawab, “Demi Allah, seandainya perempuan ini menahanku dari awal hingga akhir siang, aku tak akan berhenti mendengarkannya kecuali untuk melakukan shalat maktubah (sholat wajib 5 waktu)."
Umar kemudian berkata, "Tidakkah kalian mengenal siapa perempuan ini? Dia adalah Khaulah binti Tsa’labah. Allah telah mendengarkan ucapannya dari atas tujuh langit. Bila Tuhan semesta alam mau mendengarkan ucapannya, pantaskah bila Umar tak mau mendengarnya?”
Khaulah binti Tsalabah pengaduannya kepada Rasulullah mampu menembus langit ketujuh?
Khaulah menikah dengan Aus bin Shamit bin Qais. Suaminya termasuk orang yang ikut dalam perang Badar dan Uhud.
Khaulah binti Tsa’labah, seorang sahabat perempuan yang memiliki paras cantik nan jelita. Ia diperistri oleh Aus bin As-Shamit. Ketika sudah menjadi Ibu dari beberapa anak dari hasil pernikahan dengan Aus, keadaan dirinya sudah tidak secantik dan semenarik ketika masih gadis.
Kisahnya bermula ketika sang suami, Aus bin As-Shamit, melihat sang istri sedang melakukan shalat di rumahnya. Maka ketika sang istri selesai dari shalatnya Aus mengajaknya untuk melakukan hubungan suami istri, namun Khaulah menolak. Atas penolakan ini Aus marah besar hingga akhirnya keluar kalimat yang menjadikan Khaulah tertalak.
Dengan emosi Aus mengatakan, “Bagiku engkau laksana punggung ibuku!” (Dalam tradisi masyarakat Arab kala itu, menyamakan istri dengan punggung ibu suami adalah cara suami untuk menceraikan istrinya).
Atas penolakan istrinya untuk berhubungan intim ini Aus marah dan mengatakan, “Bila kamu keluar dari rumah sebelum aku melakukannya denganmu, maka bagiku engkau seperti punggung ibuku.”
Usai mengucapkan kalimat itu Aus menyesalinya. Ia paham bahwa dengan kalimat seperti itu sama saja ia menceraikan istrinya.
"Pada saat itu, di masa Jahiliyah, belum ada hukum dhihar". Kalimat dhihar seperti itu masih dianggap dan dihukumi sebagai talak.
Adapun Khaulah pun tak terima bila ia dicerai oleh suaminya. Maka serta merta ia mendatangi Rasulullah.
Kepada beliau ia sampaikan, “Aus menikahiku saat aku masih gadis yang disukai banyak lelaki. Kini setelah aku tua dan memiliki banyak anak, ia menyamakanku dengan ibunya (menceraikan). Aku memiliki anak-anak yang masih kecil. Kalau mereka aku serahkan kepada Aus, mereka akan tersia-sia. Tapi kalau mereka aku yang mengurus, mereka akan kelaparan.”
Dengan aduan itu Khaulah berharap agar Rasulullah tidak menghukumi talak atas ucapan suaminya Aus.
Namun Rasulullah tetap menghukumi talak atas ucapan Aus tersebut.
Khaulah masih belum mau menerima. Ia bersikeras, “Rasul, demi Allah ia tidak mengatakan kalimat talak. Dia itu bapaknya anak-anakku. Dia itu orang yang aku cintai.”
Namun Rasulullah tetap bersikeras menghukumi talak atas Khaulah dan Aus. “Engkau haram baginya,” kata beliau.
Tapi Khaulah tetap tidak mau terima. Terjadilah perdebatan. Khaulah bersikeras untuk tidak mau dihukumi talak, sementara Rasulullah tetap dengan pendiriannya.
Sebagaimana diketahui, bahwa setiap kali ada permasalah yang disampaikan oleh para sahabat kepada Rasulullah, maka beliau tidak akan menghukumi kecuali setelah adanya wahyu dari Allah. Pun demikian dengan kasus Khaulah ini. Karena tidak ada wahyu yang turun menyangkut kasus tersebut, maka beliau tetap menghukumi talak dan tidak menerima permintaan Khaulah untuk memutuskan hukum yang lain.
Melihat kenyataan bahwa keinginannya tak akan dipenuhi oleh Rasulullah, Khaulah tak berputus asa. Kepada Rasul ia katakan, “Baiklah, akan aku adukan masalah ini kepada Allah!”
Maka kemudian Khaulah menengadahkan kepalanya ke arah langit. Dengan suara lantang ia berseru: “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu. Turunkanlah peyelesaian bagi perkaraku ini melalui lisan Nabi-Mu!”
Ia terus mengadukan masalahnya kepada Allah.
Di lain tempat wajah Rasulullah terlihat berubah. Akhirnya turun ayat yang menghukumi bahwa masalah Khaulah dan suaminya itu adalah masalah "dzihar" dan "bukan talak".
Seorang suami yang men-dzihar istrinya dan berkeinginan untuk mencabut ucapannya itu ada kafaratnya. Ayat dimaksud yang turun atas permasalahan Khaulah ini Al Mujadilah ayat 1 - 4.
Allah berfirman:
“Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. Orang-orang di antara kamu yang menzihar istrinya (menganggap istrinya sebagai ibunya), (padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkannya. Dan sesungguhnya mereka benar² telah mengucapkan suatu perkataan yg mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun. Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. Maka barangsiapa tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka (dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi barangsiapa tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azab yg sangat pedih.” [QS Al Mujadilah 1-4]
Semula Khaulah senang atas turunnya ayat ini karena sudah ada solusi atas persoalan rumah tangganya. Ia pun memberi tahu sang suami, Aus, perihal kafarat tersebut. Namun kemudian, dia sadar bahwa suaminya adalah seorang yang miskin. Tidak memiliki apa-apa. Bagaimana mungkin dia dan suaminya bisa membayar kafarat tersebut (memerdekan budak atau memberi makan 60 orang miskin atau berpuasa dua bulan).
Kini giliran sang suami, Aus bin Shamit, yang menghadap Nabi Muhammad dan meminta solusi atas persoalan baru tersebut. Nabi Muhammad bertanya kepada Aus apakah dia mampu memerdekakan budak. "Tidak," jawab Aus.
Kata Nabi, kalau berpuasa dua bulan berturut-turut? Tidak mampu juga, jawab Aus.
Terakhir, Nabi bertanya apakah Aus mampu memberi makan 60 orang miskin? Lagi-lagi Aus menjawab tidak mampu.
Nabi Muhammad menjadi iba setelah mendengar jawaban Aus tersebut. Ia kemudian meminta sahabat Farwah bin Umar, untuk mengambil satu wadah yang berisi 15 atau 16 sha’ gandum. Nabi meminta Aus bin Shamit agar memberikan gandum itu kepada 60 orang miskin di sekitar rumahnya.
Kepada Nabi Muhammad, Aus bin Shamit mengatakan bahwa tidak ada orang yang lebih miskin dari pada keluarganya di desanya.
Kondisi itu membuat Nabi Muhammad tertawa. Nabi kemudian memerintahkan Aus untuk membagikan makanan itu kepada keluarganya.
Demikianlah Khaulah binti Tsa’labah, perempuan dari kalangan sahabat yang tidak saja mengadukan permasalahannya kepada Rasul tetapi juga kepada Allah. Sahabat perempuan yang "aduannya" didengar dan dikabulkan oleh Allah, dan karenanya terbentuklah hukum dzihar dalam syari’at Islam.
(Imam Qurthubi al Jami’ li Ahkamil Qur’an)
والله اعلم
-Musa Muhammad-