Oleh: Joko Intarto
Keberadaan off taker alias penjamin merupakan kunci penentu keberhasilan dalam semua bisnis. Apalagi bisnis yang dibiayai dari manfaat wakaf. Dari diskusi dengan seorang pengusaha di Pring Sewu, Lampung, bisa disimpulkan bahwa off taker harus diperoleh sebelum bisnis dimulai.
Malam sudah larut. Tapi diskusi melalui whatsapp call itu masih gayeng. Tidak terasa sudah berlangsung selama 2,5 jam. Terpaksa saya minta obrolan itu disudahi saja. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 00:35.
Diskusi Senin malam itu memang asyik. Walau belum pernah bertatap muka sejak berkenalan lima tahun lalu, kami seperti kawan akrab saja. Memang kami berkawan akrab. Tapi hanya di media sosial.
Teman diskusi saya itu namanya: Umbar. Ia pengusaha multibisnis. Segala macam yang kira-kira menghasilkan cuan dimasukinya. Awal kenal dengan Umbar, usahanya hanya rumah makan: Ayam Bakar Mas Puendek. Entah siapa yang dimaksud dengan Mas Puendek itu. Sepertinya bukan Umbar.
Sekarang usaha rumah makannya sudah beranak-pinak. Ada Kopi Veteran. Ada perdagangan empon-empon. Yang paling baru: Berdagang Zeolit. Konon Zeolit merupakan hasil tambang yang digunakan dalam industri pupuk dan semen.
Dalam diskusi panjang itu, ada topik yang menarik: Pentingnya off taker dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat kurang mampu. Keberadaan penjamin inilah yang akan membuat semua program pemberdayaan bisa berputar sesuai siklusnya. Tanpa penjamin, hasil produksi tidak punya kepastian pasar. Akhirnya program berhenti di tengah jalan. Rungkat.
Umbar mencontohkan fungsi off taker itu dalam suplai tanaman kemangi untuk rumah makannya. Setiap hari, jaringan rumah makannya memerlukan kemangi. Pemasok kemangi tersebut adalah seorang anak muda yang dulu bekerja serabutan. Umbar menawarkan peluang kepada pemuda itu menjadi pemasok dengan cara menanam kemangi di pekarangan. Setiap ikat dibeli dengan harga Rp1.000.
Sekarang, pemuda itu bisa menyuplai kemangi sebanyak 600 unting (ikat ukuran kecil) per hari. Pendapatan kotornya bisa dihitung: 600 unting x Rp1.000 = Rp600.000 per hari, atau rata-rata Rp18.000.000 per bulan. Bila biaya pokok produksi dan operasinya mencapai 50%, keuntungan bersih sebagai pemasok kemangi itu masih berkisar Rp9.000.000 per bulan.
Dalam kasus lain, Umbar menceritakan petani yang sukses menjadi pemasok daun pisang untuk sejumlah rumah makan di Pring Sewu. Modalnya hanya menanam pisang kluthuk atau pisang biji. Hasilnya luar biasa. Kini budidaya pisang kluthuk itu sudah meluas hingga beberapa hektar. Usaha itu berjalan karena pemasok punya off taker, yaitu pengusaha rumah makan.
Ada pula petani salak yang akhirnya banting setir menjadi pemasok nangka khusus untuk sayur. Setelah 4 tahun, lahan yang diusahakan telah mencapai 2,5 hektar. Pohon salak tetap ditanam. Tapi hanya berfungsi sebagai pagar pembatas lahan saja. Buah salak yang dihasikan dianggap sebagai bonus. Usaha pasokan nangka sayur ini bisa berjalan karena ada rumah makan yang menjamin pembeliannya.
Belajar dari kasus tersebut, Umbar bersama beberapa tokoh Muhammadiyah di Pring Sewu menginisiasi pesantren agrobisnis. Konsepnya, pesantren akan mengelola lahan wakafnya menjadi produktif melalui usaha atau budidaya ternak dan komoditas pertanian yang mudah menemukan off taker. Ternak ayam, ikan air tawar dan tanaman sayuran luring serta ketimun masuk dalam listing.
Untuk mengelola lahan tersebut, pesantren merekrut santri dari keluarga kurang mampu. Selain belajar, para santri akan mendapat upah sebagai pekerja di usaha milik pesantren. Karena baru dimulai, jumlah santri dibatasi hanya 5 orang. Sesuai business plan usaha tersebut. ‘’Ternyata yang mendaftar 14 orang,’’ turur Umbar.
Agar usaha pesantren tidak mandek di tengah jalan, Umbar dan kawan-kawannya memilih jenis komoditi yang akan dihasilkan. Tahap pertama: Ayam potong dan kambing. Ayam potong untuk memenuhi kebutuhan rumah makan. Sedangkan kambing untuk memenuhi permintaan qurban warga Muhammadiyah. Dua-duaya sudah punya off taker. Berarti secara bisnis, usaha tersebut pasti bisa jalan.
Meski demikian, usaha pesantren tersebut masih harus menghadapi masalah, yakni permodalan atau pembiayaan usaha. Di sinilah peran penting lembaga amil zakat (LAZ) dan lembaga wakaf. LAZ dan wakaf bisa menghimpun dana masyarakat untuk menggerakkan ekonomi dengan asnaf sebagai sasaran penerimanya.
Menutup diskusi, Umbar menyampaikan kesimpulan kepada semua pihak yang ingin mengelola asset wakaf untuk tujuan pemberdayaan ekonomi:
1. Pilih komoditas yang mudah dibudidayakan. Makin mudah makin bagus.
2. Pilih komoditas yang perputarannya cepat. Makin cepat makin bagus.
3. Pilih komoditas yang pasarnya besar. Makin besar makin bagus.
4. Pilih model bisnis yang sederhana. Makin sederhana makin bagus.
5. Pilih model bisnis yang modal kerjanya kecil. Makin kecil makin bagus.
6. Pastikan punya off taker sebelum memulai.
Saya sepakat dengan 6 jurus antirungkat itu. Bagaimana dengan Anda?
Semoga bermanfaat dan menjadi inspirasi.
(fb)